Senin, 24 November 2008

OBAMA, AMERIKA, DAN INDONESIA

EUFORIA kemenangan Barack Hussein Obama sebagai Pressiden terpilih Amerika Serikat bergema hampir di setiap Negara. Entah perubahan apa yang akan dilakuakan Obama untuk dunia ini sehingga masyarakat dunia menyambut kemenangannya itu bagaikan merayakan kedatangan seorang pahlawan perang yang baru saja memenangkan pertempuran. Tak terkecuali di Indonesia. Tidak hanya ekspatriat Amerika saja yang merayakan kemenangan Obama di Indonesia, masyarakat biasa juga berpesta atas kemenangan warga Afro-Amerika tersebut. Entah virus apa yang membawa kegembiraan pendukung Obama di Amerika hingga sampai pula di Indonesia. Padahal tidak ada hubungan historis maupun politis antara Indonesia dengan pribadi Obama. Hanya kebetulan saja Obama pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia.
Penulis sendiri tidak terlalu peduli siapapun yang menang pada pemilu Amerika tersebut, karena penulis sendiri merasa tidak akan ada ‘perubahan besar’ yang terjadi di Indonesia pasca kemenangan Obama. Indonesia tetap Indonesia, dan Amerika tetap Amerika. Nasionalisme tertinggi pastilah untuk bangsa sendiri, bukan untuk bangsa lain.
Sebelum terlalu jauh, tulisan ini bukan membahas mengenai Obama secara khusus. Ada hal yang lebih menarik yang bisa diungkap dalam tulisan ini terkait dengan kemenangan senator Illinois dari Partai Demokrat tersebut. Ada satu pelajaran yang bisa kita petik atas pemilu AS yang baru saja berlangsung, yaitu dari sisi Politik Demokrasi . Memang, tidak bisa kita bandingkan antara Amerika dengan Indonesia bila dilihat dari kematangan berdemokrasi rakyatnya. Ironis, Indonesia yang mencap diri sebagai negara demokrasi, tetapi rakyat dan elite politiknya belum menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi sebagaimana yang ditunjukkan oleh rakyat dan elite di Amerika Serikat.
Seperti kita ketahui bahwa Barack Hussein Obama adalah orang kulit hitam pertama yang menjadi Presiden Amerika Serikat. Bila kita lihat di sini, rakyat Amerika tidak pernah melihat asal-usul seorang tokoh. Ras bagi mereka bukanlah substansi penting yang harus diperdebatkan dalam berdemokrasi. Ketika orang itu memiliki kemampuan yang baik, mampu memberikan sesuatu yang diharapkan rakyat maka terpilihlah dia. Bukan sekedar pintar menyakinkan, tetapi di balik apa yang diyakinkan itu disertai dengan fakta-fakta yang selayaknya bisa memperkuat argumen politik. Memulai sesuatu dari yang benar-benar ada dan yang pasti bisa dilakukan. Rakyat Amerika butuh pendekatan-pendekatan politik yang sifatnya lebih meyakinkan, bukan hanya sekedar janji belaka. Ternyata, rakyat Amerika memiliki aptisme politik yang cukup tinggi. Tetapi berkat gigihnya Obama meyakinkan akan sebuah perubahan yang akan dibawa maka sikap apatis tersebut berubah menjadi partisipasi politik yang luar biasa.
Baik Obama maupun rivalnya McCain selalu berkampanye sehat. Serangan kata-kata adalah sesuatu yang wajar dalam berdemokrasi. Selama argumen politik yang disampaikan disertai dengan fakta yang kuat sehingga mampu meyakinkan pemilih, maka tokoh itu pastilah mendapat simpati. Rakyat Amerika justru tidak suka bila dalam kampanye itu ada yang mengungkit masalah ras, agama, maupun gender. Isu-isu tersebut sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan demokrasi modern saat ini. Elite politik Amerika justru harus berpikir seribu kali untuk membawa isu ras, agama, ataupun gender dalam suatu even demokrasi. Bila salah berucap, maka bersiap pula untuk ditinggal pemilih. Hal ini bisa kita lihat ketika Hillary Clinton, pesaing Obama dalam konvensi Partai Demokrat, mencoba mengangkat isu ras dan agama, seketika itu popularitasnya langsung menurun.
Ikatan kedaerahan bukan menjadi hal penting dalam dunia demokrasi di Amerika. Tidak peduli dari mana dia, selama mampu meyakinkan membawa perubahan dan benar-benar dianggap mampu memimpin maka kecenderungan akan mendapat dukungan kuat. Politik uang juga menjadi sesuatu yang tabu di Amerika. Berbeda dengan di Indonesia, di Amerika masyarakat pemilihlah yang memberikan sumbangan dana kampanye kepada calon yang didukungnya. Sehingga money politics sama sekali tidak dikenal di Amerika, apalagi yang namanya serangan fajar sama sekali tidak ada dalam kamus politik Amerika.

Senin, 10 November 2008

THINK GLOBALY AT LOCALY**

GLOBALISASI menjadi isu penting dalam tataran kehidupan dunia saat ini. Dimana sekarang ini dunia seolah-oleh menjadi satu-kesatuan yang tidak lagi dibatasi oleh jarak. Segala kemudahan muncul seiring dengan perkembangan teknologi. Ekonomi di berbagai negara tumbuh pesat akibat adanya kerjasama ekonomi antar negara atas nama globalisasi. Sedikit demi sedikit derajat hidup manusia di bumi ini terangkat akibat pergaulan global yang membawa berbagai pengaruh dalam peradaban umat manusia. Dengan kata lain, globalisasi sudah menjadi kebutuhan dalam setiap detak kehidupan masyarakat dunia saat ini
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mau tidak mau juga harus siap dengan meluasnya gejala globalisasi tersebut. Seiring dengan hal tersebut, Indonesia tentu saja tidak bisa menghindar dari berbagai dampak yang lahir dari globalisasi tersebut, baik itu positif maupun negatif. Di sinilah pemimpin negara diuji untuk dapat menghadapi tantangan tersebut. Pemimpin Indonesia tentu saja harus bisa menerima dampak positif yang dibawa oleh arus globalisasi tersebut dan sedapat mungkin harus bisa meminimalisir atau menghindar dari dampak negatif yang ditimbulkan meskipun hal itu sulit untuk dilakukan.
Pemimpin indonesia saat ini harus bisa think globally at locally , artinya harus bisa berpikir global tetapi tetap dalam batas nilai-nilai lokal yang dimiliki bangsa ini. Meskipun globalisasi itu menjanjikan berbagai perubahan menuju perbaikan, tetapi ekses negatif yang ditimbulkan juga bisa saja membahayakan setiap negara, termasuk Indonesia. Untuk itu benteng yang paling tepat adalah dengan tetap menjaga nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada sejak ratusan tahun silam dalam bumi pertiwi ini.
Sekalipun demikian, pemimpin tidak boleh kaku dalam menghadapi tantangan jaman saat ini. Mengambil kebijakan tidak selamanya dengan cara-cara konvensional. Nilai budaya lokal tidak selamanya bercorak kuno dan tradisionil. Masih banyak aspek budaya bangsa yang masih relevan untuk diaplikasikan dan dijadikan benteng penahan arus negatif dari modernisasi yang terjadi. Nilai-nilai tersebut juga sudah mengalami modernisasi namun tidak mengubah substansi “nilai kearifan” yang ada.
Di sinilah seorang pemimpin itu harus bisa membaca situasi dan kondisi yang berkembang. Kebijaksanaan dalam mengambil kebijakan harus tetap dipertahankan. Kebijaksanaan yang didasari oleh sifat lokal bangsa Indonesia masih bisa dijadikan landasan dalam menentukan kebijakan yang logis dan ilmiah. Hal inilah yang sulit ditemukan saat ini. Akal sehat terkadang hilang ditelan kepentingan dan tendensi tertentu. Akhirnya keputusan yang selayaknya bermanfaat bagi rakyat malah berubah menjadi bencana. Pemimpin yang seperti itu pastilah tidak membentengi diri dengan jati diri lokal yang dimiliki bangsa ini. Pemimpin yang berkutat pada urusan global tanpa mau melandasi diri dengan kepekaan yang tinggi terhadap kondisi masyarakat hanya akan membawa kesengsaraan bagi rakyat.
Sebagaimana kita lihat saat ini, dampak globalisasi dalam setiap celah kehidupan masyarakat di Indonesia sudah sangat beragam. Dampak yang tidak bisa dipungkiri adalah dampak sosial. Globalisasi identik dengan aspek ekonomi, teknologi informasi, dsb. Namun tidak setiap orang merasakan perkembangan jaman tersebut. Ada sisi lain dalam kehidupan masyarakat yang lauh dari cita-cita modernitas tersebut. Sebaliknya, sisi ekonomi membawa sebagian masyarakat kita hidup di bawah perintah orang asing dengan berharap pendapatan darinya. Situasi seperti itu tentunya sangat memprihatinkan, mengingat dampak terparah dari globalisasi itu adalah kemiskinan. Menghadapi kondisi seperti itu, pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang mampu memberi rasa keadilan bagi rakyatnya. Pemimpin tersebutl harus memiliki empati yang tinggi dalam membaca situasi sosial masyrakatnya.
Pemimpin dalam era globalisasi saat ini harus lincah dan lihai membaca situasi global. Situasi yang berkembang di negara-negara maju sangat berpengaruh terhadap keadaan di negara-negara berkembang. Oleh karena itu perlu kepekaan tinggi dalam merespon perkembangan situasi. Sebagai contoh, krisis keuangan yang sudah mengglobal sekarang ini. Kita ketahui bahwa krisis moneter itu pada awalnya terjadi pada negara maju, kemudian sangat memberikan kekhawatiran bagi negara-negara berkembang. Bila salah dalam menentukan arah kebijakan (ekonomi), maka sangat mungkin sekali akan semakin banyak orang miskin di negeri ini.
Sikap tegas juga harus dimiliki oleh pemimpin di era globalisasi. Ketegasan dimaksud adalah sikap yang tidak mudah mendapat pengaruh dari pihak-pihak yang memang memiliki kepentingan tertentu. Kepentingan rakyat harus tetap menjadi yang utama. Keragu-raguan dalam mengambil keputusan hanya akan memperparah keadaan. Situasi global yang semakin tidak menentu sangat membutuhkan pemimpin negara yang cepat dalam mengambil tindakan, namun harus tetap tegas.
Think globally at locally juga dimaksudkan bahwa pemimpin itu memanfaatkan potensi bangsa yang dimiliki . Potensi budaya bangsa Indonesia sangat beragam. Di dalamnya tertanam nilai-nilai luhur yang patut dipedomani dalam situasi seperti apapun. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana membawa nilai-nilai lokal bangsa Indonesia ke dalam kancah pergaulan internasional. Di sinilah diperlukan pemimpin yang bisa membawa citra Indonesia ke dalam politik dunia.
Bila kita lihat jauh ke belakang, banyak sekali tokoh-tokoh kerajaan di jaman dahulu yang bisa dipedomani. Itu adalah milik asli bangsa Indonesia. Di sini bukan bermaksud mengajak pemimpin Indonesia untuk kembali ke jaman kerajaan, bukan. Jaman sangat jauh dengan kondisi pada ratusan tahun lalu. Tetapi dalam konteks berbicara think globally at locally ada satu nilai yang masih sangat relevan sampai saat ini yaitu nilai-nilai dan gaya kepemimpinan leluhur bangsa ini. Nasionalisme yang tinggi dari zaman kerajaan tersebut telah mampu membawa keutuhan dan kejayaan negeri ini dulunya. Hal seperti itu mungkin tidak ada di negeri lain. Bila pemimpin bisa mempedomani nilai-nilai dan gaya kepemimpinan zaman kerajaan dulu, bukan tidak mungkin bangsa ini akan kembali disegani seperti ratusan tahun silam ketika jaman Majapahit ataupun Sriwijaya. HARUS BISA....!!***
**Tulisan ini terpilih menjadi 100 essay terbaik versi MODERNISATOR (Dr.Dino Patti Djalal-staf Khusus Presiden)
penulis diundang dalam dialog 'Kepemimpinan' bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada tanggal 25 February 2009

Kamis, 06 November 2008

POLITISI JALANAN

DEMOKRASI memang bukan merupakan sistem yang terbaik dalam pemerintahan, tetapi sampai saat ini belum ada yang lebih baik dari sistem demokrasi itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem demokrasi itu identik dengan direct election untuk menentukan wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga legislatif, maupun untuk memilih pimpinan kita di eksekutif.
Indonesia sebagai penganut paham demokrasi juga menerapkan hal serupa. Wakil rakyat dan pimpinan eksekutif (Presiden dan Kepala Daerah) dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini merupakan fenomena yang biasa dalam suatu negara demokrasi. Tidak ada suatu keistimewaan apapun yang diterapkan di Indonesia sekarang bila dibandingkan dengan apa yang sudah dilaksanakan masyarakat Amerika Serikat dari ratusan tahun yang lalu.
Pemilu sebagai salah satu sarana pelaksanaan demokrasi di Indonesia menjadi sangat penting dalam era reformasi saat ini. Terlebih lagi tahun 2009 nanti Indonesia akan menghadapi Pemilu Legislatif dan Pilpres. Untuk itu segala persiapan sudah mulai dilakukan para politikus kita. Promosi politik menjadi santapan setiap harinya yang bisa kita nikmati melalui berbagi media.
Bila kita melintasi jalan raya, maka ada pemandangan yang memang sedikit mengganggu mata. Menjelang Pemilu 2009 nanti ratusan poster, baliho, spanduk, maupun bendera Parpol menghiasi sisi-sisi jalan. Tak ketinggalan pula gambar-gambar calon anggota legislatif terpampang nampang di sepanjang jalan, seakan tak mau kalah dengan artis-artis ibu kota yang menjadi bintang iklan suatu produk. Ucapan selamat hari raya menjadi penyedap sekaligus pengantar jargon-jargon politik mereka. Segenap janji politik pun mulai tersurat dalam setiap spanduk ataupun baliho yang bergambar dirinya.
Kondisi diatas mungkin tidak pernah kita jumpai sepuluh atau lima belas tahun yang lalu. Maklum, ketika itu belum ada yang namanya memilih langsung caleg dari parpol, yang ada rakyat hanya mencoblos tanda gambar parpol saja. Siapa calonya bukan menjadi urusan rakyat, itu urusan parpol masing-masing. Rakyat benar-benar dibodohi. Namun kondisi pasca reformasi berbeda dengan masa orde baru dulu. Kini nama caleg sudah dicoblos langsung oleh pemilih. Itu artinya masing-masing politisi yang bersaing mendapatkan kursi di legislatif harus bersaing pula dalam membangun popularitas mereka dihadapan calon pemilih. Oleh karena itu para politisi itu berlomba-lomba menunjukkan wajah mereka di jalanan, hal itulah yang menginspirasi penulis untuk memberikan istilah sebagai “Politisi Jalanan”. Yah, sebuah nama yang mungkin sangat pas untuk mereka yang sangat hobby mengobral wajah mereka di jalanan.
Fenomena seperti itu merupakan konsekuensi logis dari sistem pemilu yang kita aplikasikan saat ini. Tak aneh bila politisi jalanan itu berusaha untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat. Paling tidak masyarakat calon pemilih bisa mengenal siapa calon wakil rakyat yang akan mewakilinya di parlemen nantinya. Sosialisasi melalui media-media seperti disebutkan di atas mungkin saja sudah menjadi kebutuhan bagi mereka yang ingin maju dalam pertarungan tahun 2009 nanti.
Pertanyaannya, efektifkah cara-cara yang politisi lakukan seperti sekarang ini?? Menurut penulis, sampai saat ini media seperti itu memang cukup efektif untuk digunakan. Kita ketahui bersama bahwa mobilitas masyarakat di jalan raya memang cukup tinggi. Kalau cuma untuk “memperkenalkan wajah” memang masih cukup efektif karena gampang dilihat dan dikenali, terlebih bila dilihat berkali-kali. Selain itu biaya yang dikeluarkan untuk biaya sosialisasi seperti itu juga lebih sedikit bila dibandingkan untuk pasang iklan di televisi.
Namun tidak selamanya pula cara-cara politisi jalanan seperti itu baik, apalagi bila mereka memasang gambar wajahnya di jalan-jalan protokol yang cukup padat mobilitas masyarakatnya. Yang pertama tentu saja aspek keindahan dan tata ruang kota terganggu. Banyaknya spanduk, baliho, bendera parpol, maupun media kampanye lainnya yang dipasang tidak teratur sangat merusak keindahan dan kebersihan kota. Fasilitas umum lainnya yang dimanfaatkan untuk memasang tanda gambar itu menjadi kehilangan fungsi utamannya dan masyarakat tidak bisa memanfaatkannnya. Kelemahan lainnya, bukan tidak mungkin pemasangan berbagai atribut parpol dan politisi tersebut dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Sederhana memang, tetapi disadari atau tidak, banyaknya baliho besar yang terpampang di jalan-jalan utama dapat menggangu konsentrasi pengendara. Bila itu terjadi maka bukan tidak mungkin kecelakaan bisa saja terjadi, paling tidak kecelakaan ringan. Bila media seperti itu digunakan untuk sosialisasi program, visi-misi, atau apaun namanya dan dimaksudkan untuk diketahui oleh pengguna jalan raya tentu sangat tidak efktif. Hal itu dikarenakan kecil kemungkinan para pengendara dapat membaca secara mendetail tiap tulisan yang disampaikan. Jadi bila tujuannya untuk memperkenalkan wajah mungkin cukup efektif, tetapi bila untuk sosialisasi program ataupun visi-misi, media di jalanan seperti itu harus dipertimbangkan kembali.
Apapun konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi yang terjadi saat ini adalah sesuatu yang logis. Paling tidak apa yang kita hadapi saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan masa orde baru bila dilihat dari sisi politis. Namun, kita tentunya berharap politisi sekarang tidak hanya bisa menjadi politisi jalanan yang hanya bisa pamer gambar wajahnya saja. Lebih dari itu, bagaimana politisi itu nantinya bisa menjadi politisi yang lebih berkualitas dalam segala hal. Perlombaan unjuk wajah saat ini mudah-mudahan berkelanjutan menjadi perlombaan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat nantinya.***GUSTRI

Rabu, 22 Oktober 2008

KAMPANYE, AJANG KOMUNIKASI POLITIK

Saat ini hal yang menarik dari adanya implementasi Otonomi Daerah adalah dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung di berbagai daerah di Tanah Air. Ini tentu saja membuka peluang bagi Tokoh Politik lokal yang ingin menjadi Pemimpin Lokal sebagai Kepala Daerah baik Bupati maupun Gubernur.
Untuk mencapai posisi tersebut tentu ada tahapan yang harus dilalui oleh para aktor politik lokal tersebut. Mulai dari lobi di tingkat partai politik yang sangat rumit hingga pada tahap ‘menjual’ janji kepada masyarakat (calon pemilih) melalui kampanye.
Kampanye adalah salah satu tahapan pilkada yang harus dilalui oleh seluruh pasangan calon kepala daerah. Melalui kampanye inilah para aktor politik tersebut menjual berbagai program yang akan dilaksanakan ketika menjabat nantinya. Perlu kemampuan khusus untuk mengungkap program itu melalui Komunikasi Politik yang efektif, sehingga benar-benar apa yang disampaikan itu ‘menarik’ minat pemilih.
Dapat dikatakan pula bahwa kampanye pada dasarnya adalah sebagai sosialisasi politik, yang merupakan hakekat kehidupan politik masyarakat dalam tatanan sisitem politik. Secara filosofis sosialisasi politik seperti ini ingin mengembangkan nilai-nilai pribadi melalui komunikasi politik yang menyampaikan pesan-pesan (program) politik. Tentu saja pembentukan nilai-nilai tersebut tetap berada dalam suatu lingkup system politik dan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai lingkungan tempat individu itu hidup.
Melalui kampanye, para elite mencoba mentransformasi nilai-nilai politik yang dimilikinya kepada masyarakat sehingga menjadi suatu pola keyakinan dan kepercayaan masyarakat terhadap tokoh tersebut. Dalam hal ini sosialisasi politik melalui kampanye mengarah kepada pembentukan sikap politik dan kepribadian politik yang secara utuh merupakan factor-faktor kejiwaan dalam masyarakat. Sikap dan prilaku masyarakat diarahkan guna memenuhi tujuan dan kepentingan sang pengarah (elite politik, calon Gubernur, calon Bupati, calon Presiden).
Kampanye sebagai salah satu kegiatan politik merupakan sarana yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain (masyarakat, massa). Melalui kampanye ini, aktor politik mencoba untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat baik pikiran intern golongan, instansi, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik pemerintahan dengan fakta empirik yang ada.
Di Negara-negara maju seperti Amerika, Australia, dan Inggris, pemilu sangat menarik perhatian rakyat karena hal itu menandakan perubahan pemerintahan, kepemimpinan nasional, dan mungkin juga nasib mereka masa datang. Ini jauh berbeda dengan di Indonesia, pemilu ataupun pilkada tidak lebih sebagai ajang ‘jual kecap’ dari tokoh politik melalui kampanye yang menyampaikan jargon-jargon semu. Ini tentu saja berpengaruh terhadap minat pemilih dalam ajang demokrasi tersebut. Ini bisa dilihat dari tingginya tingkat golput baik saat pemilu maupun pilkada. Ini artinya komunikasi politik yang dilakukan oleh tokoh politik tidak sepenuhnya berhasil, karena belum bisa menarik perhatian rakyat secara lebih luas.
Kampanye pada dasarnya adalah uji kepandaian dalam menyampaikan pesan politik. Ketika suatu pesan politik disampaikan dengan sesuatu berbeda, apalagi dalam kemasan yang berbeda pula, maka akan dianggap lebih menarik bagi komunikan. Tetapi ini biasanya lebih sering terjadi pada Negara yang tingkat demokrasinya sudah maju, seperti Amerika, Inggris, dan Australia, yang tidak memandang ketokohan seperti pada Negara Indonesia. Sebagai contoh, Jhon Kennedy mampu mengungguli lawan politiknya, Richard Nixon di tahun 1960-an meski dari segi kemampuan dan pengalaman pemerintahan Kennedy jauh di bawah lawan politiknya itu. Menurut para analis politik Amerika, kemenangan Kennedy ini dikarenakan penampilannya yang masih muda, ceria, memiliki suara yang merdu, dan sangat piawai dalam mengungkap ide-ide politiknya. Media massa digunakannya secara maksimal untuk memanipulasi emosi pemilih melalui pesan politiknya.
Setiap kata yang diungkapkan elit politik dalam kampanye akan sangat mempengaruhi para pemilih, terutama yang berpikiran kritis. Ini bisa dibuktikan dari kekalahan calon presiden AS George Romney, seorang veteran perang yang pulang ke negaranya tahun 1968 dan mengaku bahwa ia telah mengalami “cuci otak ‘. Khalayak tidak lagi mempertimbangkannya sebagai calon presiden karena bagaimana mungkin memilih presiden yang pernah mengalami cuci otak. Oleh karena itu, lidah sangat memegang peranan penting dalam kampanye. Sedikit saja salah ucap maka akan berakibat fatal bagi calon itu sendiri.
Tentu saja, dalam berkampanye seorang kandidat tidak saja harus tahu apa yang akan dikatakan, tetapi lebih dari itu ia harus mahir bagaimana mengatakan isu tersebut. Sesuatu yang dianggap biasa akan menjadi luar biasa apabila disampaikan dengan cara yang berbeda pula. Di sinilah dituntut kemahiran dari elit parpol dalam mengelola pesan-pesan politiknya, sehingga mampu mempengaruhi rakyatnya.
Kampanye yang baik tidak saja dilakukan hanya dengan mengobral janji-janji politik ataupun komunikasi verbal lainnya, tetapi lebih dari itu seorang calon harus dapat menyampaikan pesan politik melalui “pengelolaan kesan”. Kesan ini dapat muncul dari cara berpakaian, ekspresi wajah, dan sebagainya. Penciptaan kesan seperti ini penting untuk mempengaruhi masyarakat dan bahkan memiliki peran besar dalam keberhasilan berkampanye. Ambil contoh pada jaman orde baru, para elit militer dan elit pilitik secara mendadak menjadi seorang Kiai dengan memakai peci dan sorban ketika berkampanye ke pesantren-pesantren atau ke suatu kelompok masyarakat yang agamis. Begitu juga Pak Harto yang dikenal memiliki “senyum misteri” selalu menampakkan senyum khasnya ketika berhadapan dengan masyarakat kecil. Ini akan membawa kesan tersendiri bagi para komunikan politik.
Hingga derajat tertentu, keahlian tokoh partai dalam mengelola kesan, khususnya yang menjadi calon pemimpin (Gubernur, Bupati), sebenarnya dapat membantu kemenangan partainya, asal saja ia mempunyai Publik Relatiaon yang tangguh yang membantu sang kandidat bagaimana tampil prima di hadapan khalayak. Pengelolaan kesan melalui media massa, baik melalui pemberitaan, acara khusus, atau bahkan iklan sangatlah penting, karena media massa dapat melipat gandakan pengaruh impression management ini.
Dalam berbagai kampanye Pilkada di tanah air beberapa waktu terakhir ini, partai politik telah menampilkan kekuatannya melalui unjuk kekuatan partai dalam bentuk arak-arakan di jalanan. Namun demikian, para kandidat yang seharusnya menjadi key actor dalam Pilkada terkadang kurang terampil mengelola citra diri. Kebanyakan dari mereka masih tampil bersahaja, hati-hati, lugu, dan terkadang naïf. Mungkin karena pencitraan diri mereka anggap kurang penting.
Bahasa komunikasi yang digunakan hendaknya selalu dalam batas nilai-nilai etis yang berlaku. Bahasa provokasi dalam berkampanye justru akan menjadi boomerang bagi calon itu sendiri. Cara-cara kurang etis seperti itu sangatlah tidak layak dilakukan oleh seorang calon pemimpin. Idealnya, komunikasi politik yang dilakukan oleh para elite harus bisa menjaga ketentraman dan ketertiban social masyarakat, karena pada hakekatnya setiap proses politik adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Sumarno(2006:5) bahwa kehadiran komunikasi politik adalah untuk mewujudkan kondisi harmonis, berlanjutnya system politik secara berkesinambungan yang dapat mengayomi seluruh individu yang berada dalam system tersebut.
Berkomunikasi termasuk komunikasi politik adalah hak azasi manusia, namun demikian hak-hak tersebut hak tersebut tidak dapat digunakan secara mutlak selama komukasi politik yang dilakukan dapat menimbulkan kerugian individu yang lain. Oleh karena itu setiap komunikasi politik yang dilakukan oleh setiap actor politik baik dalam berkampanye atau dalam kegiatan politik apapun harus memiliki nilai-nilai moral secara politis dan sosiologis yang selalu berdampingan sehingga menimbulkan kemanfaatan bersama.
Demikianlah, kampanye sebagai ajang komunikasi politik harus dapat dimanfaatkan tidak saja untuk membentuk citra diri yang baik dari para elite, tetapi hendaknya dapat menumbuhkan kesadaran politik masyarakat sehingga dapat berpartisipasi dalam sisitem politik yang ada. Dengan demikian, secara tidak langsung rakyat ikut serta dalam membangun bangsanya.
BHINNEKA NARA EKA BHAKTI

Jumat, 10 Oktober 2008

BIROKRASI DAN PAMONG PRAJA

BIROKRASI DALAM OTONOMI
PEMERINTAHAN sebagai sebuah proses yang kompleks memiliki peran penting dalam usaha mewujudkan kesejahteraan warga negara. Dalam proses tersebut tentu ada upaya-upaya yang secara yuridis formal wajib dilakukan oleh penyelenggara proses tersebut. Segala usaha guna mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya menjadi sebuah tanggung jawab besar bagi Pemerintah selaku pemegang kekuasaan dalam menyelenggarakan proses dimaksud.
Peran PemerintahDaerah dalam usaha mewujudkan cita-cita negara tersebut menjadi sangat penting di era reformasi saat ini. Betapa tidak, di era otonomi sekarang ini, daerah dituntut untuk berperan lebih besar ketimbang Pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan memang daerah-lah yang lebih tahu apa kebutuhan sesungguhnya, bagaimana kedaan riil masyarakatnya, serta potensi apa yang benar-benar layak untuk dikembangkan untuk kemajuan daerah yang bersangkutan. Pendekatan pelayanan juga menjadi pertimbangan utama dalam upaya penguatan peran PemerintahDaerah saat ini.
Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi sebuah harapan besar dalam reformasi otonomi di Indonesia. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan di luar urusan yang menjadi kewenangan Pemerintahpusat adalah sebuah kesempatan emas bagi daerah untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita daerah dan cita-cita nasional. Daerah diberikan kewenangan untuk mebuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang pada dasarnya bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebab, berawal dari kesejahteraan masyarakat daerah-lah maka kesejahteraan masyarakat secara nasional dapat terwujud.
Guna mewujudkan apa yang diamanatkan UU tersebut, maka daerah harus mulai berbenah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Pola-pola pelayanan masyarakat yang tradisionil hendaknya direformasi sehingga menjadi suatu sistem pelyanan yang modern. Performace birokrasi yang selalu berorientasi pada kepentingan pribadi harus dihilangkan dan diterapkan pola kerja birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan pemerintah. Efektifitas dan efisiensi pelayanan menjadi tuntutan utama masyarakat modern saat ini. Pelayanan kepada masyarakat harus selalu memperhatikan aspek kepuasan mereka. Bila dianalogikan sebagai sebuah badan usaha, maka kepuasan konsumen menjadi yang pertama dan utama dalam menciptakan produk. Demikian juga dengan produk-produk Pemerintahan, apa yang dihasilkan dari sebuah proses ‘produksi’ dalam Pemerintahan harus dapat dihasilkan suatu produk pelayanan yang dapat memberikan kenyamanan dan kepuasan konsumen (masyarakat sebagai penerima produk Pemerintahan).

PAMONG PRAJA DALAM BIROKRASI
Bukan hal yang mudah merombak apa yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun . Pola pikir birokrat kita cenderung kaku, tradisional, parental, dan menganut politik ABS. Pola seperti inilah yang dapat mengahambat pelayanan kepada masyarakat. Perlu ada reformasi birokrasi secara menyeluruh dalam usaha memperbaiki citra pelayan publik yang sangat terpuruk belakangan ini. Penanaman nilai-nilai etika bagi calon birokrat harus ditekankan. Disiplin menjadi hal sangat urgen dalam kondisi seperti ini.
Menurut Prof. Talidziduhu Ndraha yang menyatakan bahwa ujung tombak Pemerintahan ada pada unit-unit Pemerintahan terendah, yaitu Kelurahan, Kecamatan, Kantor Dinas, dan organisasi Pemerintahyang tugas utamanya sebagai pelayan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu perlu orang-orang yang pas, right man on the right place, untuk menempati posisi inti tersebut. Dikatakan posisi inti karena mereka-mereka lah yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Melihat kebutuhan pelayan yang handal pada situasi birokrasi seperti sekarang ini, maka diperlukan profesi pelayan yang benar-benar bisa diharapkan menjadi seorang pelayan sekaligus pengayom masyrakat. Pamong Praja, sebuah profesi dalam birokrasi merupakan profesi yang paling dekat dengan pelayanan kepada masyarakat. Hampir tidak bisa dihindari bahwa peran Pamong Praja saat ini semakin penting dalam mewujudkan pelayanan prima. Profesi pamong adalah sebuah profesi pengabdian yang membutuhkan kepekaan yang tinggi atas kondisi masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam upacara pengukuhan Pamong Praja Muda lulusan IPDN tahun 2005 mengatakan bahwa Pamong Praja harus memiliki empati yang tinggi dalam memahami alam pikiran dan alam perasaan masyarakat.
Melihat posisi strategis dari Pamong Praja, maka harus dibentuk pamong-pamong yang benar-benar profesional, yang mampu memahami sekaligus menjalankan kewajibannya dengan penuh tangung jawab. Profesi pamong tentu berbeda dengan birokrat lainnya, oleh karena itu keahlian khusus bagi profesi pamong menjadi sebuah tuntutan bagi mereka yang berniat masuk kedalamnya. Perbedaan itu terlihat jelas dari aspek-aspek yang diutamakan dalam mengemban tugasnya. Seni memimpin dan melayani adalah kebutuhan utama seorang pamong, maka dari itu diperlukan pemahaman yang spesifik akan profesi Pamong Praja. Aspek teoritis hanya dimanfaatkan sebagai pendukung dalam bertugas, selebihnya kemampuan secara praktis yang lebih banyak berperan. Praktis dalam artian memberikan pelayanan, memimpin organisasi, serta menjalin hubungan yang baik dengan komponen birokrasi yang lain. Pamong Praja juga memiliki tugas ganda, yaitu sebagai konseptor yang bekerja di belakang meja dan sekaligus sebagai pelaksana yang harus terjun ke lapangan, memantau masyarakatnya, serta mengoptimalkan pelayanan. Hal tersebut berbeda dengan birokrat yang lebih banyak bekerja di belakang meja tanpa mau tahu kondisi di lapangan seperti apa.
Peran Pamong sering kali disepelekan oleh beberapa pihak, termasuk Pemerintah sendiri. Padahal Pamong Praja-lah yang pada dasarnya memegang kunci suksesnya pelaksanaan fungsi Pemerintahan di bidang public services. Banyak orang tidak menyadari arti penting posisi Pamong Praja dalam tataran birokrasi. Oleh karena itu tidak jarang posisi Pamong Praja ini diisi dari orang-orang yang tidak jelas latar belakangnya. Aspek akademis mungkin menjadi pertimbangan utama dari PemerintahDaerah dalam menempatkan seseorang sebagai Pamong Praja. Menurut hemat penulis hal itu belumlah cukup. Pamahaman secara teoritis terkadang sulit diimplementasikan dalam tataran praktis. Kasus seperti inilah yang menyebabkan seringnya terjadi implementasi konsep-konsep yang terkesan dipaksakan, alias tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Anggapan bahwa ‘secara teori seperti itu’ menjadi sebab utama terjadinya salah ‘praktek’ seperti kasus di atas. Faktor kemampuan secara praktis memang tidak kelihatan, tetapi hasilnya dapat dilihat nyata. Kepuasan konsumen tentu menjadi indikator keberhasilan seorangan pamong dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Demikian besarnya peran seorang pamong dalam pelaksanaan fungsi Pemerintahan di bidang public services menuntut PemerintahDaerah sebagai penentu kebijakan untuk benar-benar jeli memilih birokrat yang pas ditempatkan dalam posisi tersebut. Harus ada pemahaman yang tepat atas posisi Pamong Praja dalam Pemerintahan. Keberhasilan pelayanan menjadi harapan besar PemerintahDaerah. Yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana mencari orang yang tepat untuk posisi seorang pamong??
Bila kita lihat sejarah kedudukan Pamong Praja di tanah air, sejak zaman Belanda sudah memperoleh posisi yang berbeda diantara jabatan publik lainnya. Besarnya perhatian Pemerintahsaat itu terhadap jabatan Pangreh Praja (istilah Pamong Praja saat itu) dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang dibangun khusus untuk mendidik calon-calon Pamong Praja tersebut. Di zaman Belanda didirikan MOSVIA dan OSVIA, kemudian dilanjutkan oleh PemerintahIndonesia dengan membuka pendidikan Kursus Dinas C (KDC). Dengan semakin besarnya kebutuhan Pemerintahakan tenaga ahli di bidang Pemerintahan, di tahun 1956 didirikan APDN untuk pertama kalinya di Malang, yang kemudian didirikan pula di beberapa daerah di Indonesia. Begitu juga Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) dibentuk untuk semakin memantapkan kemampuan Pamong Praja dalam tataran konsep-konsep Pemerintahan. Perlunya kesamaan persepsi, penanaman nilai-nilai integritas, kesatuan wawasan nusantara, dan untuk memupuk rasa persatuan-kesatuan diantara jiwa Pamong Praja, maka perlu dibangun suatu wadah pendidikan Pamong Praja dalam satu tempat pembinaan dan pendidikan. Atas dasar itulah dibangun APDN Nasional sebagai integrasi dari seluruh APDN daerah. Selanjutnya APDN Nasional ini berkembang menjadi STPDN, dan saat ini menjadi IPDN.
Demikian besar peran Pamong Praja dalam dunia Pemerintahan telah disadari sejak dulu oleh pemerintah. Namun ironis saat ini, PemerintahDaerah di era otonomi saat ini seolah-olah ingin mengeleminasi peran Pamong Praja. Departemen Dalam Negeri tetap konsisiten mencetak kader-kader Pamong Praja, namun daerah seolah-olah berpikiran bahwa tidak begitu penting menggunakan ‘produk’ Depdagri tersebut. Bukan karena tidak bermutu, tapi karena daerah menganggap bahwa (mungkin) posisi Pamong Praja dapat diisi oleh siapa saja. Pamong Praja yang dicetak tidak semata-mata hanya unggul dalam hal kemampuan di bidang akdemis dan praktis, tetapi juga harus memiliki jiiwa integritas dan bersedia mengawal NKRI.
Demikian penting dan strategisnya posisi Pamong Praja dalam era otonomi saat ini, terutama untuk menjaga keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya posisi tersebut harus diisi oleh birokrat yang profesional di bidangnya, memahami profesi Pamong Praja sebagai profesi pengabdian, memiliki jiwa integritas nasional, demokratis dan negarawan. Dengan demikian sudah menjadi kewajiban daerah untuk memilih orang yang tepat untuk menduduki jabatan Pamong Praja tersebut.***nyoman agus

BIROKRASI DAN PAMONG PRAJA

BIROKRASI DALAM OTONOMI
PEMERINTAHAN sebagai sebuah proses yang kompleks memiliki peran penting dalam usaha mewujudkan kesejahteraan warga negara. Dalam proses tersebut tentu ada upaya-upaya yang secara yuridis formal wajib dilakukan oleh penyelenggara proses tersebut. Segala usaha guna mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya menjadi sebuah tanggung jawab besar bagi Pemerintah selaku pemegang kekuasaan dalam menyelenggarakan proses dimaksud.
Peran PemerintahDaerah dalam usaha mewujudkan cita-cita negara tersebut menjadi sangat penting di era reformasi saat ini. Betapa tidak, di era otonomi sekarang ini, daerah dituntut untuk berperan lebih besar ketimbang Pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan memang daerah-lah yang lebih tahu apa kebutuhan sesungguhnya, bagaimana kedaan riil masyarakatnya, serta potensi apa yang benar-benar layak untuk dikembangkan untuk kemajuan daerah yang bersangkutan. Pendekatan pelayanan juga menjadi pertimbangan utama dalam upaya penguatan peran PemerintahDaerah saat ini.
Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi sebuah harapan besar dalam reformasi otonomi di Indonesia. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan di luar urusan yang menjadi kewenangan Pemerintahpusat adalah sebuah kesempatan emas bagi daerah untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita daerah dan cita-cita nasional. Daerah diberikan kewenangan untuk mebuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang pada dasarnya bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebab, berawal dari kesejahteraan masyarakat daerah-lah maka kesejahteraan masyarakat secara nasional dapat terwujud.
Guna mewujudkan apa yang diamanatkan UU tersebut, maka daerah harus mulai berbenah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Pola-pola pelayanan masyarakat yang tradisionil hendaknya direformasi sehingga menjadi suatu sistem pelyanan yang modern. Performace birokrasi yang selalu berorientasi pada kepentingan pribadi harus dihilangkan dan diterapkan pola kerja birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan pemerintah. Efektifitas dan efisiensi pelayanan menjadi tuntutan utama masyarakat modern saat ini. Pelayanan kepada masyarakat harus selalu memperhatikan aspek kepuasan mereka. Bila dianalogikan sebagai sebuah badan usaha, maka kepuasan konsumen menjadi yang pertama dan utama dalam menciptakan produk. Demikian juga dengan produk-produk Pemerintahan, apa yang dihasilkan dari sebuah proses ‘produksi’ dalam Pemerintahan harus dapat dihasilkan suatu produk pelayanan yang dapat memberikan kenyamanan dan kepuasan konsumen (masyarakat sebagai penerima produk Pemerintahan).

PAMONG PRAJA DALAM BIROKRASI
Bukan hal yang mudah merombak apa yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun . Pola pikir birokrat kita cenderung kaku, tradisional, parental, dan menganut politik ABS. Pola seperti inilah yang dapat mengahambat pelayanan kepada masyarakat. Perlu ada reformasi birokrasi secara menyeluruh dalam usaha memperbaiki citra pelayan publik yang sangat terpuruk belakangan ini. Penanaman nilai-nilai etika bagi calon birokrat harus ditekankan. Disiplin menjadi hal sangat urgen dalam kondisi seperti ini.
Menurut Prof. Talidziduhu Ndraha yang menyatakan bahwa ujung tombak Pemerintahan ada pada unit-unit Pemerintahan terendah, yaitu Kelurahan, Kecamatan, Kantor Dinas, dan organisasi Pemerintahyang tugas utamanya sebagai pelayan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu perlu orang-orang yang pas, right man on the right place, untuk menempati posisi inti tersebut. Dikatakan posisi inti karena mereka-mereka lah yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Melihat kebutuhan pelayan yang handal pada situasi birokrasi seperti sekarang ini, maka diperlukan profesi pelayan yang benar-benar bisa diharapkan menjadi seorang pelayan sekaligus pengayom masyrakat. Pamong Praja, sebuah profesi dalam birokrasi merupakan profesi yang paling dekat dengan pelayanan kepada masyarakat. Hampir tidak bisa dihindari bahwa peran Pamong Praja saat ini semakin penting dalam mewujudkan pelayanan prima. Profesi pamong adalah sebuah profesi pengabdian yang membutuhkan kepekaan yang tinggi atas kondisi masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam upacara pengukuhan Pamong Praja Muda lulusan IPDN tahun 2005 mengatakan bahwa Pamong Praja harus memiliki empati yang tinggi dalam memahami alam pikiran dan alam perasaan masyarakat.
Melihat posisi strategis dari Pamong Praja, maka harus dibentuk pamong-pamong yang benar-benar profesional, yang mampu memahami sekaligus menjalankan kewajibannya dengan penuh tangung jawab. Profesi pamong tentu berbeda dengan birokrat lainnya, oleh karena itu keahlian khusus bagi profesi pamong menjadi sebuah tuntutan bagi mereka yang berniat masuk kedalamnya. Perbedaan itu terlihat jelas dari aspek-aspek yang diutamakan dalam mengemban tugasnya. Seni memimpin dan melayani adalah kebutuhan utama seorang pamong, maka dari itu diperlukan pemahaman yang spesifik akan profesi Pamong Praja. Aspek teoritis hanya dimanfaatkan sebagai pendukung dalam bertugas, selebihnya kemampuan secara praktis yang lebih banyak berperan. Praktis dalam artian memberikan pelayanan, memimpin organisasi, serta menjalin hubungan yang baik dengan komponen birokrasi yang lain. Pamong Praja juga memiliki tugas ganda, yaitu sebagai konseptor yang bekerja di belakang meja dan sekaligus sebagai pelaksana yang harus terjun ke lapangan, memantau masyarakatnya, serta mengoptimalkan pelayanan. Hal tersebut berbeda dengan birokrat yang lebih banyak bekerja di belakang meja tanpa mau tahu kondisi di lapangan seperti apa.
Peran Pamong sering kali disepelekan oleh beberapa pihak, termasuk Pemerintah sendiri. Padahal Pamong Praja-lah yang pada dasarnya memegang kunci suksesnya pelaksanaan fungsi Pemerintahan di bidang public services. Banyak orang tidak menyadari arti penting posisi Pamong Praja dalam tataran birokrasi. Oleh karena itu tidak jarang posisi Pamong Praja ini diisi dari orang-orang yang tidak jelas latar belakangnya. Aspek akademis mungkin menjadi pertimbangan utama dari PemerintahDaerah dalam menempatkan seseorang sebagai Pamong Praja. Menurut hemat penulis hal itu belumlah cukup. Pamahaman secara teoritis terkadang sulit diimplementasikan dalam tataran praktis. Kasus seperti inilah yang menyebabkan seringnya terjadi implementasi konsep-konsep yang terkesan dipaksakan, alias tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Anggapan bahwa ‘secara teori seperti itu’ menjadi sebab utama terjadinya salah ‘praktek’ seperti kasus di atas. Faktor kemampuan secara praktis memang tidak kelihatan, tetapi hasilnya dapat dilihat nyata. Kepuasan konsumen tentu menjadi indikator keberhasilan seorangan pamong dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Demikian besarnya peran seorang pamong dalam pelaksanaan fungsi Pemerintahan di bidang public services menuntut PemerintahDaerah sebagai penentu kebijakan untuk benar-benar jeli memilih birokrat yang pas ditempatkan dalam posisi tersebut. Harus ada pemahaman yang tepat atas posisi Pamong Praja dalam Pemerintahan. Keberhasilan pelayanan menjadi harapan besar PemerintahDaerah. Yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana mencari orang yang tepat untuk posisi seorang pamong??
Bila kita lihat sejarah kedudukan Pamong Praja di tanah air, sejak zaman Belanda sudah memperoleh posisi yang berbeda diantara jabatan publik lainnya. Besarnya perhatian Pemerintahsaat itu terhadap jabatan Pangreh Praja (istilah Pamong Praja saat itu) dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang dibangun khusus untuk mendidik calon-calon Pamong Praja tersebut. Di zaman Belanda didirikan MOSVIA dan OSVIA, kemudian dilanjutkan oleh PemerintahIndonesia dengan membuka pendidikan Kursus Dinas C (KDC). Dengan semakin besarnya kebutuhan Pemerintahakan tenaga ahli di bidang Pemerintahan, di tahun 1956 didirikan APDN untuk pertama kalinya di Malang, yang kemudian didirikan pula di beberapa daerah di Indonesia. Begitu juga Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) dibentuk untuk semakin memantapkan kemampuan Pamong Praja dalam tataran konsep-konsep Pemerintahan. Perlunya kesamaan persepsi, penanaman nilai-nilai integritas, kesatuan wawasan nusantara, dan untuk memupuk rasa persatuan-kesatuan diantara jiwa Pamong Praja, maka perlu dibangun suatu wadah pendidikan Pamong Praja dalam satu tempat pembinaan dan pendidikan. Atas dasar itulah dibangun APDN Nasional sebagai integrasi dari seluruh APDN daerah. Selanjutnya APDN Nasional ini berkembang menjadi STPDN, dan saat ini menjadi IPDN.
Demikian besar peran Pamong Praja dalam dunia Pemerintahan telah disadari sejak dulu oleh pemerintah. Namun ironis saat ini, PemerintahDaerah di era otonomi saat ini seolah-olah ingin mengeleminasi peran Pamong Praja. Departemen Dalam Negeri tetap konsisiten mencetak kader-kader Pamong Praja, namun daerah seolah-olah berpikiran bahwa tidak begitu penting menggunakan ‘produk’ Depdagri tersebut. Bukan karena tidak bermutu, tapi karena daerah menganggap bahwa (mungkin) posisi Pamong Praja dapat diisi oleh siapa saja. Pamong Praja yang dicetak tidak semata-mata hanya unggul dalam hal kemampuan di bidang akdemis dan praktis, tetapi juga harus memiliki jiiwa integritas dan bersedia mengawal NKRI.
Demikian penting dan strategisnya posisi Pamong Praja dalam era otonomi saat ini, terutama untuk menjaga keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya posisi tersebut harus diisi oleh birokrat yang profesional di bidangnya, memahami profesi Pamong Praja sebagai profesi pengabdian, memiliki jiwa integritas nasional, demokratis dan negarawan. Dengan demikian sudah menjadi kewajiban daerah untuk memilih orang yang tepat untuk menduduki jabatan Pamong Praja tersebut.***nyoman agus

Sabtu, 13 September 2008

REKONSTRUKSI SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA


‘’ REFORMASI telah diproklamirkan sepuluh tahun yang lalu. Sejak saat itu kebebasan berpolitik dan berdemokrasi menjadi pemandangan yang lazim kita lihat. Partai politik semakin banyak bermunculan, bak cendawan di musim hujan. Tetapi sayang sekali sistem multi partai yang kita anut selama ini belum memberikan sumbangan besar bagi pembangunan politik Bangsa, bahkan cenderung merugikan jalannya pemerintahan”

SETELAH Orde Baru jatuh dan iklim reformasi mulai bergulir, kehidupan demokrasi di Indonesia terus melaju. Udara kebebasan mulai dirasakan rakyat, kesejukkan berdemokrasi menjadi hal baru tatkala itu. Hak-hak politik warga mulai mendapat jaminan, dan era baru politik disambut dengan suara lantang. Seluruh komponen Infrastruktur dan Suprastruktur politik mulai berbenah, melakukan rekonstruksi organisasi demi sebuah reformasi.Sungguh sebuah era baru dalam kehidupan politik dan demokrasi telah dimulai.
Setelah proklamasi reformasi berlalu, partai-partai politik mulai bermunculan. Bak jamur di musim hujan, para elite politik dengan mudahnya mendirikan partai. Pada saat itu muncul suatu pemikiran bahwa kebebasan berdemokrasi seolah-olah hanya kebebasan dalam membentuk partai politik saja. Menjelang Pemilu pertama pasca reformasi tercatat ada sekitar 200 lebih partai politik yang terbentuk, tetapi yang dinyatakan berhak mengikuti Pemilu 1999 hanya 48 parpol saja. Sedangkan pada Pemilu tahun 2004 jumlah parpol yang berkompetisi turun manjadi 24 parpol, setengah dari jumlah parpol peserta Pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2009 nanti jumlah parpol yang bersaing merebut dukungan rakyat malah bertambah menjadi 38 parpol (di tingkat Nasional) dan 6 parpol lokal di Aceh. Hal ini semakin menunjukkan bahwa Indonesia benar-benar menganut Sistem Multi Partai yang ‘luar biasa’ (kalau boleh penulis katakan ini sebagai sistem extra multi partai).
Terlebih lagi dengan diundangkannya UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik yang memberikan peluang lebih mudah untuk mendirikan partai politik. Ketentuan Parliamentary Threshold dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 yang hanya sebesar 2,5% kalau menurut penulis merupakan angka yang cukup kecil, seharusnya lebih besar dari itu. Dengan ketentuan seperti itu akan lebih mudah bagi Parpol untuk memperoleh kursi di DPR dan secara otomatis berhak mengikuti Pemilu selanjutnya. Kemudahan lain yang diberikan Undang-Undang yaitu papol peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi syarat Electoral Threshold sebesar 3% bisa mengikuti Pemilu 2009 bila memiliki kursi di DPR. Bila ketentuan Undang-Undang sedemikian mudahnya, bagaimana peserta Pemilu tahun depan tidak semakin banyak?
Pasang surut sistem multi partai di Indonesia telah dialami sejak zaman Soekanro dulu. Hampir tidak ada pengalaman manis dengan sistem multi partai yang sudah kita anut selama puluhan tahun ini. Di era Soeharto sendiri jumlah peserta Pemilu diciutkan manjadi tiga saja (dua parpol dan satu Golkar), walaupun ada kecenderungan mengarah pada sistem partai tunggal (mono partisan). Pengalaman buruk dengan sistem extra multi partai yang pernah diterapkan di Indonesia dulu seharusnya menjadi pelajaran pahit bagi para elite yang masih bergulat berburu kekuasaan. Tetapi kenapa tokoh-tokoh itu belum juga sadar, apakah mereka mau mengorbankan rakyat lagi hanya untuk kepentingannya??
Menjamurnya partai politik pasca bergulirnya reformasi di tanah air ternyata belum sepenuhnya dapat mengakomodasi kepentingan rakyat. Apa yang menjadi tujuan awal pembentukan partai politik ternyata diingkari oleh kaum elite. Mereka cenderung mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok mereka, tidak ada keberpihakan kepada rakyat. Rakyat hanya dijadikan komoditi pada saat pemilu, setelah selesai pemilu rakyat mulai ditinggalkan.
Banyaknya partai yang siap bersaing memperebutkan kepercayaan rakyat saat ini bisa dikatakan sebagai cermin betapa elite politik haus akan kekukasaan. Pada dasarnya, secara teoritis dari pendapat ahli politik, menyatakan bahwa tujuan terbentuknya partai politik adalah untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Itu artinya bahwa semakin banyak partai terbentuk, maka semakin banyak pula orang yang ingin berkuasa. Walaupun secara konseptual fungsi partai politik itu adalah sebagai wahana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat, disamping pula fungsi yang lain, tetapi fungsi itu telah menyimpang jauh. Rakyat hanya menjadi komoditi semata bila Pemilu tiba. Perdebatan atas nama membela kepentingan rakyat hanya sebagai kedok pertentangan kepentingan elite. Tidak ada pembela rakyat sejati, yang ada hanya pembela kepentingan kelompok elite.
Banyak orang beranggapan bahwa jumlah partai politik menunjukkan tingkat demokrasi suatu bangsa. Pernyataan seperti itu tidaklah seratus persen benar, harus dipertimbangkan kembali hal-hal yang lain. Kita ambil contoh dua negara ‘guru’ demokrasi, Amerika Serikat dan Inggris. Kedua negara tersebut menganut sistem dwi partai, tetapi kualitas kehidupan demokrasinya tidak diragukan lagi. Jarang sekali, bahkan tidak pernah kita dengar adanya konflik baik antar elite maupun konflik antar warga. Seolah-olah sudah menjadi sebuah konvensi bagi masing-masing partai di negara tersebut untuk mengawal jalannya pemerintahan, yang menang sebagai penguasa dan yang kalah sebagai pengontrol pemerintahan.
Kalau mau jujur, tidak banyak keuntungan yang kita dapatkan dari adanya sistem extra multi partai seperti saat ini. Tetapi bukankah rakyat punya banyak pilihan dalam Pemilu? Secara teoritis memang demikian, tetapi ada satu fenomena yang justru kontra terhadap pernyataan tersebut. Kenapa di saat banyaknya parpol yang berlaga justru angka golput semakin tinggi? Penulis menganggap ini sebagai ketidak percayaan rakyat kepada parpol-parpol tersebut. Bukankah percuma membentuk partai bila tidak mendapat dukungan rakyat secara legitimate? Yang harus kita pertimbangkan lagi adalah ekses negatif dari banyaknya partai politik terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut analisa penulis paling tidak ada tiga ekses negatif yang ditimbulkan dari extra multi partai ini, yaitu di bidang Politik (Pemerintahan), Ekonomi, dan Sosial Kemasyarakatan.
Konstitusi menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang kita anut adalah Presidensial. Itu artinya Presiden menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Presiden sama sekali tidak bertanggung jawab kepada DPR. Tetapi kenapa saat ini kekuasaan DPR terkesan begitu besar dan Pemerintah sendiri seolah-olah menunjukkan ketakutan akan hal tersebut. Hal ini tidak terlepas dari adanya sistem extra multi partai yang berlaku sekarang. Semakin banyak partai yang ikut Pemilu maka akan semakin sulit bagi suatu partai untuk memperoleh suara mayoritas di parlemen. Itu artinya semakin banyak pula kepentingan politik yang ada di DPR. Bila Presiden tidak bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingan tersebut, maka DPR akan berusaha untuk ‘mengganggu’ jalannya Pemerintahan. Tentu saja hal ini akan menyebabkan ketidak stabilan dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan. Untuk menjaga agar Pemerintahan berjalan dengan ‘aman’, mau tidak mau Presiden harus mengakomodir berbagai kepentingan di DPR. Prof. Jimly Asshiddiqie menyebut fenomena seperti itu sebagai Quasi Presidentil. Untuk mengamankan posisinya, bisa saja Presiden mengangkat Menteri-Menterinya dari orang-orang Parpol. Bila kepentingan Pemerintahan bercampur dengan kepentingan kelompok politik, maka bukan tidak mungkin kepentingan rakyatlah yang dikorbankan. Ini adalah salah satu dampak negatif di bidang politik dari sistem extra multi partai di Indonesia.
Dalam bidang ekonomi, akan semakin banyak uang negara yang tersedot untuk memberikan sumbangan kepada partai politik. Dalam ketentuan pasal 34 UU No.2 Tahun 2008 dikatakan salah satu sumber keuangan partai politik adalah sumbangan dari APBN atau APBD yang diberikan secara proporsional berdasarkan jumlah suara yang diperoleh bagi parpol yang memperoleh kursi di legislatif. Andai saja uang negara itu disumbangkan untuk membangun gedung sekolah yang roboh, atau untuk memberi bantuan bagi balita gizi buruk, atau juga untuk anak putus sekolah, pastilah kehidupan mereka akan lebih sedikit terbantu. Bila semakin banyak parpol yang terbentuk, bukan tidak mungkin akan semakin banyak pula uang negara yang terbuang percuma untuk menyumbang parpol tersebut. Jadi jelas, secara ekonomi tidak menguntungkan sama sekali, bahkan cenderung memberatkan APBN/APBD.
Banyaknya partai politik dengan beragam ideologinya menyebabkan masyarakat semakin terkotak-kotak menurut ideologi tertentu. Doktrin politik yang ‘ekstrem’ yang diberikan partai politik tertentu kepada masyarakat bukan tidak mungkin mengakibatkan terbentuknya suatu kelompok fanatis sempit di kalangan masyarakat. Hal yang demikian sangat rawan terjadi di masyarakat, mengingat pemahaman politik yang kurang di kalangan masyarakat Indonesia. Sehingga dengan demikian rakyat akan sangat mudah diadu oleh kalangan elite politik. Jika ini terjadi maka akan dapat mengancam persatuan dan kesatuan Bangsa. Ini adalah salah satu dampak yang mungkin saja terjadi di bidang sosial kemasyarakatan.
Mungkinkah kita mengembangkan sistem mono partai atau dwi partai di Indonesia? Lalu, berapakah jumlah ideal partai politik yang mungkin bisa dikembangkan di Indonesia? Penulis sendiri berpendapat bahwa tidak mungkin menerapkan sistem mono ataupun dwi partai di Negara Indonesia, mengingat masyarakat Indonesia sangat majemuk dengan berbagai kepercayaan dan kebudayaannya. Jadi sistem multi partai harus tetap dijalankan. Mengenai jumlah ideal partai politik yang bisa dikembangkan di Indonesia, sampai saat ini tidak bisa ditetapkan berapa jumlah ideal parpol yang seharusnya ada dalam sistem kemasyarakatan sekompleks masyarakat Indonesia ini. Menurut penulis sendiri jumlah ideal partai politik yaitu antara 5 partai saja, yang masing-masing mewakili golongan Agamis Konservatif, Agamis Moderat, Nasionalis Tengah, Nasionalis Kerakyatan, dan Kelompok Pekerja/Buruh. Jumlah yang bisa ditoleransi maksimal sampai 8 partai saja, atau tidak lebih dari 10 partai. Partai lain yang dirasa punya ideologi sama dengan yang kelima di atas bisa menggabungkan diri membentuk partai yang lebih besar lagi.
Perlu digaris bawahi bahwa rekonstruksi menuju penyederhanaan sistem multi partai kita bukan dimaksudkan untuk mematikan demokrasi yang sudah susah payah dibangun, tetapi justru untuk membangun demokrasi yang lebih berkualitas setra meningkatkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan. Dua pengalaman pemilihan umum rasanya cukup untuk meyakinkan kita akan tidak bermanfaatnya membuat partai baru bilamana tidak memiliki akar dukungan yang kuat di masyarakat. Mudah-mudahan para elite menyadari hal ini!!***nyoman agus