Senin, 24 November 2008

OBAMA, AMERIKA, DAN INDONESIA

EUFORIA kemenangan Barack Hussein Obama sebagai Pressiden terpilih Amerika Serikat bergema hampir di setiap Negara. Entah perubahan apa yang akan dilakuakan Obama untuk dunia ini sehingga masyarakat dunia menyambut kemenangannya itu bagaikan merayakan kedatangan seorang pahlawan perang yang baru saja memenangkan pertempuran. Tak terkecuali di Indonesia. Tidak hanya ekspatriat Amerika saja yang merayakan kemenangan Obama di Indonesia, masyarakat biasa juga berpesta atas kemenangan warga Afro-Amerika tersebut. Entah virus apa yang membawa kegembiraan pendukung Obama di Amerika hingga sampai pula di Indonesia. Padahal tidak ada hubungan historis maupun politis antara Indonesia dengan pribadi Obama. Hanya kebetulan saja Obama pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia.
Penulis sendiri tidak terlalu peduli siapapun yang menang pada pemilu Amerika tersebut, karena penulis sendiri merasa tidak akan ada ‘perubahan besar’ yang terjadi di Indonesia pasca kemenangan Obama. Indonesia tetap Indonesia, dan Amerika tetap Amerika. Nasionalisme tertinggi pastilah untuk bangsa sendiri, bukan untuk bangsa lain.
Sebelum terlalu jauh, tulisan ini bukan membahas mengenai Obama secara khusus. Ada hal yang lebih menarik yang bisa diungkap dalam tulisan ini terkait dengan kemenangan senator Illinois dari Partai Demokrat tersebut. Ada satu pelajaran yang bisa kita petik atas pemilu AS yang baru saja berlangsung, yaitu dari sisi Politik Demokrasi . Memang, tidak bisa kita bandingkan antara Amerika dengan Indonesia bila dilihat dari kematangan berdemokrasi rakyatnya. Ironis, Indonesia yang mencap diri sebagai negara demokrasi, tetapi rakyat dan elite politiknya belum menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi sebagaimana yang ditunjukkan oleh rakyat dan elite di Amerika Serikat.
Seperti kita ketahui bahwa Barack Hussein Obama adalah orang kulit hitam pertama yang menjadi Presiden Amerika Serikat. Bila kita lihat di sini, rakyat Amerika tidak pernah melihat asal-usul seorang tokoh. Ras bagi mereka bukanlah substansi penting yang harus diperdebatkan dalam berdemokrasi. Ketika orang itu memiliki kemampuan yang baik, mampu memberikan sesuatu yang diharapkan rakyat maka terpilihlah dia. Bukan sekedar pintar menyakinkan, tetapi di balik apa yang diyakinkan itu disertai dengan fakta-fakta yang selayaknya bisa memperkuat argumen politik. Memulai sesuatu dari yang benar-benar ada dan yang pasti bisa dilakukan. Rakyat Amerika butuh pendekatan-pendekatan politik yang sifatnya lebih meyakinkan, bukan hanya sekedar janji belaka. Ternyata, rakyat Amerika memiliki aptisme politik yang cukup tinggi. Tetapi berkat gigihnya Obama meyakinkan akan sebuah perubahan yang akan dibawa maka sikap apatis tersebut berubah menjadi partisipasi politik yang luar biasa.
Baik Obama maupun rivalnya McCain selalu berkampanye sehat. Serangan kata-kata adalah sesuatu yang wajar dalam berdemokrasi. Selama argumen politik yang disampaikan disertai dengan fakta yang kuat sehingga mampu meyakinkan pemilih, maka tokoh itu pastilah mendapat simpati. Rakyat Amerika justru tidak suka bila dalam kampanye itu ada yang mengungkit masalah ras, agama, maupun gender. Isu-isu tersebut sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan demokrasi modern saat ini. Elite politik Amerika justru harus berpikir seribu kali untuk membawa isu ras, agama, ataupun gender dalam suatu even demokrasi. Bila salah berucap, maka bersiap pula untuk ditinggal pemilih. Hal ini bisa kita lihat ketika Hillary Clinton, pesaing Obama dalam konvensi Partai Demokrat, mencoba mengangkat isu ras dan agama, seketika itu popularitasnya langsung menurun.
Ikatan kedaerahan bukan menjadi hal penting dalam dunia demokrasi di Amerika. Tidak peduli dari mana dia, selama mampu meyakinkan membawa perubahan dan benar-benar dianggap mampu memimpin maka kecenderungan akan mendapat dukungan kuat. Politik uang juga menjadi sesuatu yang tabu di Amerika. Berbeda dengan di Indonesia, di Amerika masyarakat pemilihlah yang memberikan sumbangan dana kampanye kepada calon yang didukungnya. Sehingga money politics sama sekali tidak dikenal di Amerika, apalagi yang namanya serangan fajar sama sekali tidak ada dalam kamus politik Amerika.

Tidak ada komentar: