Sabtu, 13 September 2008

REKONSTRUKSI SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA


‘’ REFORMASI telah diproklamirkan sepuluh tahun yang lalu. Sejak saat itu kebebasan berpolitik dan berdemokrasi menjadi pemandangan yang lazim kita lihat. Partai politik semakin banyak bermunculan, bak cendawan di musim hujan. Tetapi sayang sekali sistem multi partai yang kita anut selama ini belum memberikan sumbangan besar bagi pembangunan politik Bangsa, bahkan cenderung merugikan jalannya pemerintahan”

SETELAH Orde Baru jatuh dan iklim reformasi mulai bergulir, kehidupan demokrasi di Indonesia terus melaju. Udara kebebasan mulai dirasakan rakyat, kesejukkan berdemokrasi menjadi hal baru tatkala itu. Hak-hak politik warga mulai mendapat jaminan, dan era baru politik disambut dengan suara lantang. Seluruh komponen Infrastruktur dan Suprastruktur politik mulai berbenah, melakukan rekonstruksi organisasi demi sebuah reformasi.Sungguh sebuah era baru dalam kehidupan politik dan demokrasi telah dimulai.
Setelah proklamasi reformasi berlalu, partai-partai politik mulai bermunculan. Bak jamur di musim hujan, para elite politik dengan mudahnya mendirikan partai. Pada saat itu muncul suatu pemikiran bahwa kebebasan berdemokrasi seolah-olah hanya kebebasan dalam membentuk partai politik saja. Menjelang Pemilu pertama pasca reformasi tercatat ada sekitar 200 lebih partai politik yang terbentuk, tetapi yang dinyatakan berhak mengikuti Pemilu 1999 hanya 48 parpol saja. Sedangkan pada Pemilu tahun 2004 jumlah parpol yang berkompetisi turun manjadi 24 parpol, setengah dari jumlah parpol peserta Pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2009 nanti jumlah parpol yang bersaing merebut dukungan rakyat malah bertambah menjadi 38 parpol (di tingkat Nasional) dan 6 parpol lokal di Aceh. Hal ini semakin menunjukkan bahwa Indonesia benar-benar menganut Sistem Multi Partai yang ‘luar biasa’ (kalau boleh penulis katakan ini sebagai sistem extra multi partai).
Terlebih lagi dengan diundangkannya UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik yang memberikan peluang lebih mudah untuk mendirikan partai politik. Ketentuan Parliamentary Threshold dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 yang hanya sebesar 2,5% kalau menurut penulis merupakan angka yang cukup kecil, seharusnya lebih besar dari itu. Dengan ketentuan seperti itu akan lebih mudah bagi Parpol untuk memperoleh kursi di DPR dan secara otomatis berhak mengikuti Pemilu selanjutnya. Kemudahan lain yang diberikan Undang-Undang yaitu papol peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi syarat Electoral Threshold sebesar 3% bisa mengikuti Pemilu 2009 bila memiliki kursi di DPR. Bila ketentuan Undang-Undang sedemikian mudahnya, bagaimana peserta Pemilu tahun depan tidak semakin banyak?
Pasang surut sistem multi partai di Indonesia telah dialami sejak zaman Soekanro dulu. Hampir tidak ada pengalaman manis dengan sistem multi partai yang sudah kita anut selama puluhan tahun ini. Di era Soeharto sendiri jumlah peserta Pemilu diciutkan manjadi tiga saja (dua parpol dan satu Golkar), walaupun ada kecenderungan mengarah pada sistem partai tunggal (mono partisan). Pengalaman buruk dengan sistem extra multi partai yang pernah diterapkan di Indonesia dulu seharusnya menjadi pelajaran pahit bagi para elite yang masih bergulat berburu kekuasaan. Tetapi kenapa tokoh-tokoh itu belum juga sadar, apakah mereka mau mengorbankan rakyat lagi hanya untuk kepentingannya??
Menjamurnya partai politik pasca bergulirnya reformasi di tanah air ternyata belum sepenuhnya dapat mengakomodasi kepentingan rakyat. Apa yang menjadi tujuan awal pembentukan partai politik ternyata diingkari oleh kaum elite. Mereka cenderung mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok mereka, tidak ada keberpihakan kepada rakyat. Rakyat hanya dijadikan komoditi pada saat pemilu, setelah selesai pemilu rakyat mulai ditinggalkan.
Banyaknya partai yang siap bersaing memperebutkan kepercayaan rakyat saat ini bisa dikatakan sebagai cermin betapa elite politik haus akan kekukasaan. Pada dasarnya, secara teoritis dari pendapat ahli politik, menyatakan bahwa tujuan terbentuknya partai politik adalah untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Itu artinya bahwa semakin banyak partai terbentuk, maka semakin banyak pula orang yang ingin berkuasa. Walaupun secara konseptual fungsi partai politik itu adalah sebagai wahana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat, disamping pula fungsi yang lain, tetapi fungsi itu telah menyimpang jauh. Rakyat hanya menjadi komoditi semata bila Pemilu tiba. Perdebatan atas nama membela kepentingan rakyat hanya sebagai kedok pertentangan kepentingan elite. Tidak ada pembela rakyat sejati, yang ada hanya pembela kepentingan kelompok elite.
Banyak orang beranggapan bahwa jumlah partai politik menunjukkan tingkat demokrasi suatu bangsa. Pernyataan seperti itu tidaklah seratus persen benar, harus dipertimbangkan kembali hal-hal yang lain. Kita ambil contoh dua negara ‘guru’ demokrasi, Amerika Serikat dan Inggris. Kedua negara tersebut menganut sistem dwi partai, tetapi kualitas kehidupan demokrasinya tidak diragukan lagi. Jarang sekali, bahkan tidak pernah kita dengar adanya konflik baik antar elite maupun konflik antar warga. Seolah-olah sudah menjadi sebuah konvensi bagi masing-masing partai di negara tersebut untuk mengawal jalannya pemerintahan, yang menang sebagai penguasa dan yang kalah sebagai pengontrol pemerintahan.
Kalau mau jujur, tidak banyak keuntungan yang kita dapatkan dari adanya sistem extra multi partai seperti saat ini. Tetapi bukankah rakyat punya banyak pilihan dalam Pemilu? Secara teoritis memang demikian, tetapi ada satu fenomena yang justru kontra terhadap pernyataan tersebut. Kenapa di saat banyaknya parpol yang berlaga justru angka golput semakin tinggi? Penulis menganggap ini sebagai ketidak percayaan rakyat kepada parpol-parpol tersebut. Bukankah percuma membentuk partai bila tidak mendapat dukungan rakyat secara legitimate? Yang harus kita pertimbangkan lagi adalah ekses negatif dari banyaknya partai politik terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut analisa penulis paling tidak ada tiga ekses negatif yang ditimbulkan dari extra multi partai ini, yaitu di bidang Politik (Pemerintahan), Ekonomi, dan Sosial Kemasyarakatan.
Konstitusi menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang kita anut adalah Presidensial. Itu artinya Presiden menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Presiden sama sekali tidak bertanggung jawab kepada DPR. Tetapi kenapa saat ini kekuasaan DPR terkesan begitu besar dan Pemerintah sendiri seolah-olah menunjukkan ketakutan akan hal tersebut. Hal ini tidak terlepas dari adanya sistem extra multi partai yang berlaku sekarang. Semakin banyak partai yang ikut Pemilu maka akan semakin sulit bagi suatu partai untuk memperoleh suara mayoritas di parlemen. Itu artinya semakin banyak pula kepentingan politik yang ada di DPR. Bila Presiden tidak bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingan tersebut, maka DPR akan berusaha untuk ‘mengganggu’ jalannya Pemerintahan. Tentu saja hal ini akan menyebabkan ketidak stabilan dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan. Untuk menjaga agar Pemerintahan berjalan dengan ‘aman’, mau tidak mau Presiden harus mengakomodir berbagai kepentingan di DPR. Prof. Jimly Asshiddiqie menyebut fenomena seperti itu sebagai Quasi Presidentil. Untuk mengamankan posisinya, bisa saja Presiden mengangkat Menteri-Menterinya dari orang-orang Parpol. Bila kepentingan Pemerintahan bercampur dengan kepentingan kelompok politik, maka bukan tidak mungkin kepentingan rakyatlah yang dikorbankan. Ini adalah salah satu dampak negatif di bidang politik dari sistem extra multi partai di Indonesia.
Dalam bidang ekonomi, akan semakin banyak uang negara yang tersedot untuk memberikan sumbangan kepada partai politik. Dalam ketentuan pasal 34 UU No.2 Tahun 2008 dikatakan salah satu sumber keuangan partai politik adalah sumbangan dari APBN atau APBD yang diberikan secara proporsional berdasarkan jumlah suara yang diperoleh bagi parpol yang memperoleh kursi di legislatif. Andai saja uang negara itu disumbangkan untuk membangun gedung sekolah yang roboh, atau untuk memberi bantuan bagi balita gizi buruk, atau juga untuk anak putus sekolah, pastilah kehidupan mereka akan lebih sedikit terbantu. Bila semakin banyak parpol yang terbentuk, bukan tidak mungkin akan semakin banyak pula uang negara yang terbuang percuma untuk menyumbang parpol tersebut. Jadi jelas, secara ekonomi tidak menguntungkan sama sekali, bahkan cenderung memberatkan APBN/APBD.
Banyaknya partai politik dengan beragam ideologinya menyebabkan masyarakat semakin terkotak-kotak menurut ideologi tertentu. Doktrin politik yang ‘ekstrem’ yang diberikan partai politik tertentu kepada masyarakat bukan tidak mungkin mengakibatkan terbentuknya suatu kelompok fanatis sempit di kalangan masyarakat. Hal yang demikian sangat rawan terjadi di masyarakat, mengingat pemahaman politik yang kurang di kalangan masyarakat Indonesia. Sehingga dengan demikian rakyat akan sangat mudah diadu oleh kalangan elite politik. Jika ini terjadi maka akan dapat mengancam persatuan dan kesatuan Bangsa. Ini adalah salah satu dampak yang mungkin saja terjadi di bidang sosial kemasyarakatan.
Mungkinkah kita mengembangkan sistem mono partai atau dwi partai di Indonesia? Lalu, berapakah jumlah ideal partai politik yang mungkin bisa dikembangkan di Indonesia? Penulis sendiri berpendapat bahwa tidak mungkin menerapkan sistem mono ataupun dwi partai di Negara Indonesia, mengingat masyarakat Indonesia sangat majemuk dengan berbagai kepercayaan dan kebudayaannya. Jadi sistem multi partai harus tetap dijalankan. Mengenai jumlah ideal partai politik yang bisa dikembangkan di Indonesia, sampai saat ini tidak bisa ditetapkan berapa jumlah ideal parpol yang seharusnya ada dalam sistem kemasyarakatan sekompleks masyarakat Indonesia ini. Menurut penulis sendiri jumlah ideal partai politik yaitu antara 5 partai saja, yang masing-masing mewakili golongan Agamis Konservatif, Agamis Moderat, Nasionalis Tengah, Nasionalis Kerakyatan, dan Kelompok Pekerja/Buruh. Jumlah yang bisa ditoleransi maksimal sampai 8 partai saja, atau tidak lebih dari 10 partai. Partai lain yang dirasa punya ideologi sama dengan yang kelima di atas bisa menggabungkan diri membentuk partai yang lebih besar lagi.
Perlu digaris bawahi bahwa rekonstruksi menuju penyederhanaan sistem multi partai kita bukan dimaksudkan untuk mematikan demokrasi yang sudah susah payah dibangun, tetapi justru untuk membangun demokrasi yang lebih berkualitas setra meningkatkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan. Dua pengalaman pemilihan umum rasanya cukup untuk meyakinkan kita akan tidak bermanfaatnya membuat partai baru bilamana tidak memiliki akar dukungan yang kuat di masyarakat. Mudah-mudahan para elite menyadari hal ini!!***nyoman agus