Kamis, 06 November 2008

POLITISI JALANAN

DEMOKRASI memang bukan merupakan sistem yang terbaik dalam pemerintahan, tetapi sampai saat ini belum ada yang lebih baik dari sistem demokrasi itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem demokrasi itu identik dengan direct election untuk menentukan wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga legislatif, maupun untuk memilih pimpinan kita di eksekutif.
Indonesia sebagai penganut paham demokrasi juga menerapkan hal serupa. Wakil rakyat dan pimpinan eksekutif (Presiden dan Kepala Daerah) dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini merupakan fenomena yang biasa dalam suatu negara demokrasi. Tidak ada suatu keistimewaan apapun yang diterapkan di Indonesia sekarang bila dibandingkan dengan apa yang sudah dilaksanakan masyarakat Amerika Serikat dari ratusan tahun yang lalu.
Pemilu sebagai salah satu sarana pelaksanaan demokrasi di Indonesia menjadi sangat penting dalam era reformasi saat ini. Terlebih lagi tahun 2009 nanti Indonesia akan menghadapi Pemilu Legislatif dan Pilpres. Untuk itu segala persiapan sudah mulai dilakukan para politikus kita. Promosi politik menjadi santapan setiap harinya yang bisa kita nikmati melalui berbagi media.
Bila kita melintasi jalan raya, maka ada pemandangan yang memang sedikit mengganggu mata. Menjelang Pemilu 2009 nanti ratusan poster, baliho, spanduk, maupun bendera Parpol menghiasi sisi-sisi jalan. Tak ketinggalan pula gambar-gambar calon anggota legislatif terpampang nampang di sepanjang jalan, seakan tak mau kalah dengan artis-artis ibu kota yang menjadi bintang iklan suatu produk. Ucapan selamat hari raya menjadi penyedap sekaligus pengantar jargon-jargon politik mereka. Segenap janji politik pun mulai tersurat dalam setiap spanduk ataupun baliho yang bergambar dirinya.
Kondisi diatas mungkin tidak pernah kita jumpai sepuluh atau lima belas tahun yang lalu. Maklum, ketika itu belum ada yang namanya memilih langsung caleg dari parpol, yang ada rakyat hanya mencoblos tanda gambar parpol saja. Siapa calonya bukan menjadi urusan rakyat, itu urusan parpol masing-masing. Rakyat benar-benar dibodohi. Namun kondisi pasca reformasi berbeda dengan masa orde baru dulu. Kini nama caleg sudah dicoblos langsung oleh pemilih. Itu artinya masing-masing politisi yang bersaing mendapatkan kursi di legislatif harus bersaing pula dalam membangun popularitas mereka dihadapan calon pemilih. Oleh karena itu para politisi itu berlomba-lomba menunjukkan wajah mereka di jalanan, hal itulah yang menginspirasi penulis untuk memberikan istilah sebagai “Politisi Jalanan”. Yah, sebuah nama yang mungkin sangat pas untuk mereka yang sangat hobby mengobral wajah mereka di jalanan.
Fenomena seperti itu merupakan konsekuensi logis dari sistem pemilu yang kita aplikasikan saat ini. Tak aneh bila politisi jalanan itu berusaha untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat. Paling tidak masyarakat calon pemilih bisa mengenal siapa calon wakil rakyat yang akan mewakilinya di parlemen nantinya. Sosialisasi melalui media-media seperti disebutkan di atas mungkin saja sudah menjadi kebutuhan bagi mereka yang ingin maju dalam pertarungan tahun 2009 nanti.
Pertanyaannya, efektifkah cara-cara yang politisi lakukan seperti sekarang ini?? Menurut penulis, sampai saat ini media seperti itu memang cukup efektif untuk digunakan. Kita ketahui bersama bahwa mobilitas masyarakat di jalan raya memang cukup tinggi. Kalau cuma untuk “memperkenalkan wajah” memang masih cukup efektif karena gampang dilihat dan dikenali, terlebih bila dilihat berkali-kali. Selain itu biaya yang dikeluarkan untuk biaya sosialisasi seperti itu juga lebih sedikit bila dibandingkan untuk pasang iklan di televisi.
Namun tidak selamanya pula cara-cara politisi jalanan seperti itu baik, apalagi bila mereka memasang gambar wajahnya di jalan-jalan protokol yang cukup padat mobilitas masyarakatnya. Yang pertama tentu saja aspek keindahan dan tata ruang kota terganggu. Banyaknya spanduk, baliho, bendera parpol, maupun media kampanye lainnya yang dipasang tidak teratur sangat merusak keindahan dan kebersihan kota. Fasilitas umum lainnya yang dimanfaatkan untuk memasang tanda gambar itu menjadi kehilangan fungsi utamannya dan masyarakat tidak bisa memanfaatkannnya. Kelemahan lainnya, bukan tidak mungkin pemasangan berbagai atribut parpol dan politisi tersebut dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Sederhana memang, tetapi disadari atau tidak, banyaknya baliho besar yang terpampang di jalan-jalan utama dapat menggangu konsentrasi pengendara. Bila itu terjadi maka bukan tidak mungkin kecelakaan bisa saja terjadi, paling tidak kecelakaan ringan. Bila media seperti itu digunakan untuk sosialisasi program, visi-misi, atau apaun namanya dan dimaksudkan untuk diketahui oleh pengguna jalan raya tentu sangat tidak efktif. Hal itu dikarenakan kecil kemungkinan para pengendara dapat membaca secara mendetail tiap tulisan yang disampaikan. Jadi bila tujuannya untuk memperkenalkan wajah mungkin cukup efektif, tetapi bila untuk sosialisasi program ataupun visi-misi, media di jalanan seperti itu harus dipertimbangkan kembali.
Apapun konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi yang terjadi saat ini adalah sesuatu yang logis. Paling tidak apa yang kita hadapi saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan masa orde baru bila dilihat dari sisi politis. Namun, kita tentunya berharap politisi sekarang tidak hanya bisa menjadi politisi jalanan yang hanya bisa pamer gambar wajahnya saja. Lebih dari itu, bagaimana politisi itu nantinya bisa menjadi politisi yang lebih berkualitas dalam segala hal. Perlombaan unjuk wajah saat ini mudah-mudahan berkelanjutan menjadi perlombaan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat nantinya.***GUSTRI

Tidak ada komentar: