Jumat, 10 Oktober 2008

BIROKRASI DAN PAMONG PRAJA

BIROKRASI DALAM OTONOMI
PEMERINTAHAN sebagai sebuah proses yang kompleks memiliki peran penting dalam usaha mewujudkan kesejahteraan warga negara. Dalam proses tersebut tentu ada upaya-upaya yang secara yuridis formal wajib dilakukan oleh penyelenggara proses tersebut. Segala usaha guna mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya menjadi sebuah tanggung jawab besar bagi Pemerintah selaku pemegang kekuasaan dalam menyelenggarakan proses dimaksud.
Peran PemerintahDaerah dalam usaha mewujudkan cita-cita negara tersebut menjadi sangat penting di era reformasi saat ini. Betapa tidak, di era otonomi sekarang ini, daerah dituntut untuk berperan lebih besar ketimbang Pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan memang daerah-lah yang lebih tahu apa kebutuhan sesungguhnya, bagaimana kedaan riil masyarakatnya, serta potensi apa yang benar-benar layak untuk dikembangkan untuk kemajuan daerah yang bersangkutan. Pendekatan pelayanan juga menjadi pertimbangan utama dalam upaya penguatan peran PemerintahDaerah saat ini.
Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi sebuah harapan besar dalam reformasi otonomi di Indonesia. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan di luar urusan yang menjadi kewenangan Pemerintahpusat adalah sebuah kesempatan emas bagi daerah untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita daerah dan cita-cita nasional. Daerah diberikan kewenangan untuk mebuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang pada dasarnya bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebab, berawal dari kesejahteraan masyarakat daerah-lah maka kesejahteraan masyarakat secara nasional dapat terwujud.
Guna mewujudkan apa yang diamanatkan UU tersebut, maka daerah harus mulai berbenah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Pola-pola pelayanan masyarakat yang tradisionil hendaknya direformasi sehingga menjadi suatu sistem pelyanan yang modern. Performace birokrasi yang selalu berorientasi pada kepentingan pribadi harus dihilangkan dan diterapkan pola kerja birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan pemerintah. Efektifitas dan efisiensi pelayanan menjadi tuntutan utama masyarakat modern saat ini. Pelayanan kepada masyarakat harus selalu memperhatikan aspek kepuasan mereka. Bila dianalogikan sebagai sebuah badan usaha, maka kepuasan konsumen menjadi yang pertama dan utama dalam menciptakan produk. Demikian juga dengan produk-produk Pemerintahan, apa yang dihasilkan dari sebuah proses ‘produksi’ dalam Pemerintahan harus dapat dihasilkan suatu produk pelayanan yang dapat memberikan kenyamanan dan kepuasan konsumen (masyarakat sebagai penerima produk Pemerintahan).

PAMONG PRAJA DALAM BIROKRASI
Bukan hal yang mudah merombak apa yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun . Pola pikir birokrat kita cenderung kaku, tradisional, parental, dan menganut politik ABS. Pola seperti inilah yang dapat mengahambat pelayanan kepada masyarakat. Perlu ada reformasi birokrasi secara menyeluruh dalam usaha memperbaiki citra pelayan publik yang sangat terpuruk belakangan ini. Penanaman nilai-nilai etika bagi calon birokrat harus ditekankan. Disiplin menjadi hal sangat urgen dalam kondisi seperti ini.
Menurut Prof. Talidziduhu Ndraha yang menyatakan bahwa ujung tombak Pemerintahan ada pada unit-unit Pemerintahan terendah, yaitu Kelurahan, Kecamatan, Kantor Dinas, dan organisasi Pemerintahyang tugas utamanya sebagai pelayan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu perlu orang-orang yang pas, right man on the right place, untuk menempati posisi inti tersebut. Dikatakan posisi inti karena mereka-mereka lah yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Melihat kebutuhan pelayan yang handal pada situasi birokrasi seperti sekarang ini, maka diperlukan profesi pelayan yang benar-benar bisa diharapkan menjadi seorang pelayan sekaligus pengayom masyrakat. Pamong Praja, sebuah profesi dalam birokrasi merupakan profesi yang paling dekat dengan pelayanan kepada masyarakat. Hampir tidak bisa dihindari bahwa peran Pamong Praja saat ini semakin penting dalam mewujudkan pelayanan prima. Profesi pamong adalah sebuah profesi pengabdian yang membutuhkan kepekaan yang tinggi atas kondisi masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam upacara pengukuhan Pamong Praja Muda lulusan IPDN tahun 2005 mengatakan bahwa Pamong Praja harus memiliki empati yang tinggi dalam memahami alam pikiran dan alam perasaan masyarakat.
Melihat posisi strategis dari Pamong Praja, maka harus dibentuk pamong-pamong yang benar-benar profesional, yang mampu memahami sekaligus menjalankan kewajibannya dengan penuh tangung jawab. Profesi pamong tentu berbeda dengan birokrat lainnya, oleh karena itu keahlian khusus bagi profesi pamong menjadi sebuah tuntutan bagi mereka yang berniat masuk kedalamnya. Perbedaan itu terlihat jelas dari aspek-aspek yang diutamakan dalam mengemban tugasnya. Seni memimpin dan melayani adalah kebutuhan utama seorang pamong, maka dari itu diperlukan pemahaman yang spesifik akan profesi Pamong Praja. Aspek teoritis hanya dimanfaatkan sebagai pendukung dalam bertugas, selebihnya kemampuan secara praktis yang lebih banyak berperan. Praktis dalam artian memberikan pelayanan, memimpin organisasi, serta menjalin hubungan yang baik dengan komponen birokrasi yang lain. Pamong Praja juga memiliki tugas ganda, yaitu sebagai konseptor yang bekerja di belakang meja dan sekaligus sebagai pelaksana yang harus terjun ke lapangan, memantau masyarakatnya, serta mengoptimalkan pelayanan. Hal tersebut berbeda dengan birokrat yang lebih banyak bekerja di belakang meja tanpa mau tahu kondisi di lapangan seperti apa.
Peran Pamong sering kali disepelekan oleh beberapa pihak, termasuk Pemerintah sendiri. Padahal Pamong Praja-lah yang pada dasarnya memegang kunci suksesnya pelaksanaan fungsi Pemerintahan di bidang public services. Banyak orang tidak menyadari arti penting posisi Pamong Praja dalam tataran birokrasi. Oleh karena itu tidak jarang posisi Pamong Praja ini diisi dari orang-orang yang tidak jelas latar belakangnya. Aspek akademis mungkin menjadi pertimbangan utama dari PemerintahDaerah dalam menempatkan seseorang sebagai Pamong Praja. Menurut hemat penulis hal itu belumlah cukup. Pamahaman secara teoritis terkadang sulit diimplementasikan dalam tataran praktis. Kasus seperti inilah yang menyebabkan seringnya terjadi implementasi konsep-konsep yang terkesan dipaksakan, alias tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Anggapan bahwa ‘secara teori seperti itu’ menjadi sebab utama terjadinya salah ‘praktek’ seperti kasus di atas. Faktor kemampuan secara praktis memang tidak kelihatan, tetapi hasilnya dapat dilihat nyata. Kepuasan konsumen tentu menjadi indikator keberhasilan seorangan pamong dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Demikian besarnya peran seorang pamong dalam pelaksanaan fungsi Pemerintahan di bidang public services menuntut PemerintahDaerah sebagai penentu kebijakan untuk benar-benar jeli memilih birokrat yang pas ditempatkan dalam posisi tersebut. Harus ada pemahaman yang tepat atas posisi Pamong Praja dalam Pemerintahan. Keberhasilan pelayanan menjadi harapan besar PemerintahDaerah. Yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana mencari orang yang tepat untuk posisi seorang pamong??
Bila kita lihat sejarah kedudukan Pamong Praja di tanah air, sejak zaman Belanda sudah memperoleh posisi yang berbeda diantara jabatan publik lainnya. Besarnya perhatian Pemerintahsaat itu terhadap jabatan Pangreh Praja (istilah Pamong Praja saat itu) dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang dibangun khusus untuk mendidik calon-calon Pamong Praja tersebut. Di zaman Belanda didirikan MOSVIA dan OSVIA, kemudian dilanjutkan oleh PemerintahIndonesia dengan membuka pendidikan Kursus Dinas C (KDC). Dengan semakin besarnya kebutuhan Pemerintahakan tenaga ahli di bidang Pemerintahan, di tahun 1956 didirikan APDN untuk pertama kalinya di Malang, yang kemudian didirikan pula di beberapa daerah di Indonesia. Begitu juga Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) dibentuk untuk semakin memantapkan kemampuan Pamong Praja dalam tataran konsep-konsep Pemerintahan. Perlunya kesamaan persepsi, penanaman nilai-nilai integritas, kesatuan wawasan nusantara, dan untuk memupuk rasa persatuan-kesatuan diantara jiwa Pamong Praja, maka perlu dibangun suatu wadah pendidikan Pamong Praja dalam satu tempat pembinaan dan pendidikan. Atas dasar itulah dibangun APDN Nasional sebagai integrasi dari seluruh APDN daerah. Selanjutnya APDN Nasional ini berkembang menjadi STPDN, dan saat ini menjadi IPDN.
Demikian besar peran Pamong Praja dalam dunia Pemerintahan telah disadari sejak dulu oleh pemerintah. Namun ironis saat ini, PemerintahDaerah di era otonomi saat ini seolah-olah ingin mengeleminasi peran Pamong Praja. Departemen Dalam Negeri tetap konsisiten mencetak kader-kader Pamong Praja, namun daerah seolah-olah berpikiran bahwa tidak begitu penting menggunakan ‘produk’ Depdagri tersebut. Bukan karena tidak bermutu, tapi karena daerah menganggap bahwa (mungkin) posisi Pamong Praja dapat diisi oleh siapa saja. Pamong Praja yang dicetak tidak semata-mata hanya unggul dalam hal kemampuan di bidang akdemis dan praktis, tetapi juga harus memiliki jiiwa integritas dan bersedia mengawal NKRI.
Demikian penting dan strategisnya posisi Pamong Praja dalam era otonomi saat ini, terutama untuk menjaga keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya posisi tersebut harus diisi oleh birokrat yang profesional di bidangnya, memahami profesi Pamong Praja sebagai profesi pengabdian, memiliki jiwa integritas nasional, demokratis dan negarawan. Dengan demikian sudah menjadi kewajiban daerah untuk memilih orang yang tepat untuk menduduki jabatan Pamong Praja tersebut.***nyoman agus

Tidak ada komentar: