Rabu, 22 Oktober 2008

KAMPANYE, AJANG KOMUNIKASI POLITIK

Saat ini hal yang menarik dari adanya implementasi Otonomi Daerah adalah dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung di berbagai daerah di Tanah Air. Ini tentu saja membuka peluang bagi Tokoh Politik lokal yang ingin menjadi Pemimpin Lokal sebagai Kepala Daerah baik Bupati maupun Gubernur.
Untuk mencapai posisi tersebut tentu ada tahapan yang harus dilalui oleh para aktor politik lokal tersebut. Mulai dari lobi di tingkat partai politik yang sangat rumit hingga pada tahap ‘menjual’ janji kepada masyarakat (calon pemilih) melalui kampanye.
Kampanye adalah salah satu tahapan pilkada yang harus dilalui oleh seluruh pasangan calon kepala daerah. Melalui kampanye inilah para aktor politik tersebut menjual berbagai program yang akan dilaksanakan ketika menjabat nantinya. Perlu kemampuan khusus untuk mengungkap program itu melalui Komunikasi Politik yang efektif, sehingga benar-benar apa yang disampaikan itu ‘menarik’ minat pemilih.
Dapat dikatakan pula bahwa kampanye pada dasarnya adalah sebagai sosialisasi politik, yang merupakan hakekat kehidupan politik masyarakat dalam tatanan sisitem politik. Secara filosofis sosialisasi politik seperti ini ingin mengembangkan nilai-nilai pribadi melalui komunikasi politik yang menyampaikan pesan-pesan (program) politik. Tentu saja pembentukan nilai-nilai tersebut tetap berada dalam suatu lingkup system politik dan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai lingkungan tempat individu itu hidup.
Melalui kampanye, para elite mencoba mentransformasi nilai-nilai politik yang dimilikinya kepada masyarakat sehingga menjadi suatu pola keyakinan dan kepercayaan masyarakat terhadap tokoh tersebut. Dalam hal ini sosialisasi politik melalui kampanye mengarah kepada pembentukan sikap politik dan kepribadian politik yang secara utuh merupakan factor-faktor kejiwaan dalam masyarakat. Sikap dan prilaku masyarakat diarahkan guna memenuhi tujuan dan kepentingan sang pengarah (elite politik, calon Gubernur, calon Bupati, calon Presiden).
Kampanye sebagai salah satu kegiatan politik merupakan sarana yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain (masyarakat, massa). Melalui kampanye ini, aktor politik mencoba untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat baik pikiran intern golongan, instansi, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik pemerintahan dengan fakta empirik yang ada.
Di Negara-negara maju seperti Amerika, Australia, dan Inggris, pemilu sangat menarik perhatian rakyat karena hal itu menandakan perubahan pemerintahan, kepemimpinan nasional, dan mungkin juga nasib mereka masa datang. Ini jauh berbeda dengan di Indonesia, pemilu ataupun pilkada tidak lebih sebagai ajang ‘jual kecap’ dari tokoh politik melalui kampanye yang menyampaikan jargon-jargon semu. Ini tentu saja berpengaruh terhadap minat pemilih dalam ajang demokrasi tersebut. Ini bisa dilihat dari tingginya tingkat golput baik saat pemilu maupun pilkada. Ini artinya komunikasi politik yang dilakukan oleh tokoh politik tidak sepenuhnya berhasil, karena belum bisa menarik perhatian rakyat secara lebih luas.
Kampanye pada dasarnya adalah uji kepandaian dalam menyampaikan pesan politik. Ketika suatu pesan politik disampaikan dengan sesuatu berbeda, apalagi dalam kemasan yang berbeda pula, maka akan dianggap lebih menarik bagi komunikan. Tetapi ini biasanya lebih sering terjadi pada Negara yang tingkat demokrasinya sudah maju, seperti Amerika, Inggris, dan Australia, yang tidak memandang ketokohan seperti pada Negara Indonesia. Sebagai contoh, Jhon Kennedy mampu mengungguli lawan politiknya, Richard Nixon di tahun 1960-an meski dari segi kemampuan dan pengalaman pemerintahan Kennedy jauh di bawah lawan politiknya itu. Menurut para analis politik Amerika, kemenangan Kennedy ini dikarenakan penampilannya yang masih muda, ceria, memiliki suara yang merdu, dan sangat piawai dalam mengungkap ide-ide politiknya. Media massa digunakannya secara maksimal untuk memanipulasi emosi pemilih melalui pesan politiknya.
Setiap kata yang diungkapkan elit politik dalam kampanye akan sangat mempengaruhi para pemilih, terutama yang berpikiran kritis. Ini bisa dibuktikan dari kekalahan calon presiden AS George Romney, seorang veteran perang yang pulang ke negaranya tahun 1968 dan mengaku bahwa ia telah mengalami “cuci otak ‘. Khalayak tidak lagi mempertimbangkannya sebagai calon presiden karena bagaimana mungkin memilih presiden yang pernah mengalami cuci otak. Oleh karena itu, lidah sangat memegang peranan penting dalam kampanye. Sedikit saja salah ucap maka akan berakibat fatal bagi calon itu sendiri.
Tentu saja, dalam berkampanye seorang kandidat tidak saja harus tahu apa yang akan dikatakan, tetapi lebih dari itu ia harus mahir bagaimana mengatakan isu tersebut. Sesuatu yang dianggap biasa akan menjadi luar biasa apabila disampaikan dengan cara yang berbeda pula. Di sinilah dituntut kemahiran dari elit parpol dalam mengelola pesan-pesan politiknya, sehingga mampu mempengaruhi rakyatnya.
Kampanye yang baik tidak saja dilakukan hanya dengan mengobral janji-janji politik ataupun komunikasi verbal lainnya, tetapi lebih dari itu seorang calon harus dapat menyampaikan pesan politik melalui “pengelolaan kesan”. Kesan ini dapat muncul dari cara berpakaian, ekspresi wajah, dan sebagainya. Penciptaan kesan seperti ini penting untuk mempengaruhi masyarakat dan bahkan memiliki peran besar dalam keberhasilan berkampanye. Ambil contoh pada jaman orde baru, para elit militer dan elit pilitik secara mendadak menjadi seorang Kiai dengan memakai peci dan sorban ketika berkampanye ke pesantren-pesantren atau ke suatu kelompok masyarakat yang agamis. Begitu juga Pak Harto yang dikenal memiliki “senyum misteri” selalu menampakkan senyum khasnya ketika berhadapan dengan masyarakat kecil. Ini akan membawa kesan tersendiri bagi para komunikan politik.
Hingga derajat tertentu, keahlian tokoh partai dalam mengelola kesan, khususnya yang menjadi calon pemimpin (Gubernur, Bupati), sebenarnya dapat membantu kemenangan partainya, asal saja ia mempunyai Publik Relatiaon yang tangguh yang membantu sang kandidat bagaimana tampil prima di hadapan khalayak. Pengelolaan kesan melalui media massa, baik melalui pemberitaan, acara khusus, atau bahkan iklan sangatlah penting, karena media massa dapat melipat gandakan pengaruh impression management ini.
Dalam berbagai kampanye Pilkada di tanah air beberapa waktu terakhir ini, partai politik telah menampilkan kekuatannya melalui unjuk kekuatan partai dalam bentuk arak-arakan di jalanan. Namun demikian, para kandidat yang seharusnya menjadi key actor dalam Pilkada terkadang kurang terampil mengelola citra diri. Kebanyakan dari mereka masih tampil bersahaja, hati-hati, lugu, dan terkadang naïf. Mungkin karena pencitraan diri mereka anggap kurang penting.
Bahasa komunikasi yang digunakan hendaknya selalu dalam batas nilai-nilai etis yang berlaku. Bahasa provokasi dalam berkampanye justru akan menjadi boomerang bagi calon itu sendiri. Cara-cara kurang etis seperti itu sangatlah tidak layak dilakukan oleh seorang calon pemimpin. Idealnya, komunikasi politik yang dilakukan oleh para elite harus bisa menjaga ketentraman dan ketertiban social masyarakat, karena pada hakekatnya setiap proses politik adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Sumarno(2006:5) bahwa kehadiran komunikasi politik adalah untuk mewujudkan kondisi harmonis, berlanjutnya system politik secara berkesinambungan yang dapat mengayomi seluruh individu yang berada dalam system tersebut.
Berkomunikasi termasuk komunikasi politik adalah hak azasi manusia, namun demikian hak-hak tersebut hak tersebut tidak dapat digunakan secara mutlak selama komukasi politik yang dilakukan dapat menimbulkan kerugian individu yang lain. Oleh karena itu setiap komunikasi politik yang dilakukan oleh setiap actor politik baik dalam berkampanye atau dalam kegiatan politik apapun harus memiliki nilai-nilai moral secara politis dan sosiologis yang selalu berdampingan sehingga menimbulkan kemanfaatan bersama.
Demikianlah, kampanye sebagai ajang komunikasi politik harus dapat dimanfaatkan tidak saja untuk membentuk citra diri yang baik dari para elite, tetapi hendaknya dapat menumbuhkan kesadaran politik masyarakat sehingga dapat berpartisipasi dalam sisitem politik yang ada. Dengan demikian, secara tidak langsung rakyat ikut serta dalam membangun bangsanya.
BHINNEKA NARA EKA BHAKTI

Jumat, 10 Oktober 2008

BIROKRASI DAN PAMONG PRAJA

BIROKRASI DALAM OTONOMI
PEMERINTAHAN sebagai sebuah proses yang kompleks memiliki peran penting dalam usaha mewujudkan kesejahteraan warga negara. Dalam proses tersebut tentu ada upaya-upaya yang secara yuridis formal wajib dilakukan oleh penyelenggara proses tersebut. Segala usaha guna mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya menjadi sebuah tanggung jawab besar bagi Pemerintah selaku pemegang kekuasaan dalam menyelenggarakan proses dimaksud.
Peran PemerintahDaerah dalam usaha mewujudkan cita-cita negara tersebut menjadi sangat penting di era reformasi saat ini. Betapa tidak, di era otonomi sekarang ini, daerah dituntut untuk berperan lebih besar ketimbang Pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan memang daerah-lah yang lebih tahu apa kebutuhan sesungguhnya, bagaimana kedaan riil masyarakatnya, serta potensi apa yang benar-benar layak untuk dikembangkan untuk kemajuan daerah yang bersangkutan. Pendekatan pelayanan juga menjadi pertimbangan utama dalam upaya penguatan peran PemerintahDaerah saat ini.
Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi sebuah harapan besar dalam reformasi otonomi di Indonesia. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan di luar urusan yang menjadi kewenangan Pemerintahpusat adalah sebuah kesempatan emas bagi daerah untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita daerah dan cita-cita nasional. Daerah diberikan kewenangan untuk mebuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang pada dasarnya bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebab, berawal dari kesejahteraan masyarakat daerah-lah maka kesejahteraan masyarakat secara nasional dapat terwujud.
Guna mewujudkan apa yang diamanatkan UU tersebut, maka daerah harus mulai berbenah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Pola-pola pelayanan masyarakat yang tradisionil hendaknya direformasi sehingga menjadi suatu sistem pelyanan yang modern. Performace birokrasi yang selalu berorientasi pada kepentingan pribadi harus dihilangkan dan diterapkan pola kerja birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan pemerintah. Efektifitas dan efisiensi pelayanan menjadi tuntutan utama masyarakat modern saat ini. Pelayanan kepada masyarakat harus selalu memperhatikan aspek kepuasan mereka. Bila dianalogikan sebagai sebuah badan usaha, maka kepuasan konsumen menjadi yang pertama dan utama dalam menciptakan produk. Demikian juga dengan produk-produk Pemerintahan, apa yang dihasilkan dari sebuah proses ‘produksi’ dalam Pemerintahan harus dapat dihasilkan suatu produk pelayanan yang dapat memberikan kenyamanan dan kepuasan konsumen (masyarakat sebagai penerima produk Pemerintahan).

PAMONG PRAJA DALAM BIROKRASI
Bukan hal yang mudah merombak apa yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun . Pola pikir birokrat kita cenderung kaku, tradisional, parental, dan menganut politik ABS. Pola seperti inilah yang dapat mengahambat pelayanan kepada masyarakat. Perlu ada reformasi birokrasi secara menyeluruh dalam usaha memperbaiki citra pelayan publik yang sangat terpuruk belakangan ini. Penanaman nilai-nilai etika bagi calon birokrat harus ditekankan. Disiplin menjadi hal sangat urgen dalam kondisi seperti ini.
Menurut Prof. Talidziduhu Ndraha yang menyatakan bahwa ujung tombak Pemerintahan ada pada unit-unit Pemerintahan terendah, yaitu Kelurahan, Kecamatan, Kantor Dinas, dan organisasi Pemerintahyang tugas utamanya sebagai pelayan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu perlu orang-orang yang pas, right man on the right place, untuk menempati posisi inti tersebut. Dikatakan posisi inti karena mereka-mereka lah yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Melihat kebutuhan pelayan yang handal pada situasi birokrasi seperti sekarang ini, maka diperlukan profesi pelayan yang benar-benar bisa diharapkan menjadi seorang pelayan sekaligus pengayom masyrakat. Pamong Praja, sebuah profesi dalam birokrasi merupakan profesi yang paling dekat dengan pelayanan kepada masyarakat. Hampir tidak bisa dihindari bahwa peran Pamong Praja saat ini semakin penting dalam mewujudkan pelayanan prima. Profesi pamong adalah sebuah profesi pengabdian yang membutuhkan kepekaan yang tinggi atas kondisi masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam upacara pengukuhan Pamong Praja Muda lulusan IPDN tahun 2005 mengatakan bahwa Pamong Praja harus memiliki empati yang tinggi dalam memahami alam pikiran dan alam perasaan masyarakat.
Melihat posisi strategis dari Pamong Praja, maka harus dibentuk pamong-pamong yang benar-benar profesional, yang mampu memahami sekaligus menjalankan kewajibannya dengan penuh tangung jawab. Profesi pamong tentu berbeda dengan birokrat lainnya, oleh karena itu keahlian khusus bagi profesi pamong menjadi sebuah tuntutan bagi mereka yang berniat masuk kedalamnya. Perbedaan itu terlihat jelas dari aspek-aspek yang diutamakan dalam mengemban tugasnya. Seni memimpin dan melayani adalah kebutuhan utama seorang pamong, maka dari itu diperlukan pemahaman yang spesifik akan profesi Pamong Praja. Aspek teoritis hanya dimanfaatkan sebagai pendukung dalam bertugas, selebihnya kemampuan secara praktis yang lebih banyak berperan. Praktis dalam artian memberikan pelayanan, memimpin organisasi, serta menjalin hubungan yang baik dengan komponen birokrasi yang lain. Pamong Praja juga memiliki tugas ganda, yaitu sebagai konseptor yang bekerja di belakang meja dan sekaligus sebagai pelaksana yang harus terjun ke lapangan, memantau masyarakatnya, serta mengoptimalkan pelayanan. Hal tersebut berbeda dengan birokrat yang lebih banyak bekerja di belakang meja tanpa mau tahu kondisi di lapangan seperti apa.
Peran Pamong sering kali disepelekan oleh beberapa pihak, termasuk Pemerintah sendiri. Padahal Pamong Praja-lah yang pada dasarnya memegang kunci suksesnya pelaksanaan fungsi Pemerintahan di bidang public services. Banyak orang tidak menyadari arti penting posisi Pamong Praja dalam tataran birokrasi. Oleh karena itu tidak jarang posisi Pamong Praja ini diisi dari orang-orang yang tidak jelas latar belakangnya. Aspek akademis mungkin menjadi pertimbangan utama dari PemerintahDaerah dalam menempatkan seseorang sebagai Pamong Praja. Menurut hemat penulis hal itu belumlah cukup. Pamahaman secara teoritis terkadang sulit diimplementasikan dalam tataran praktis. Kasus seperti inilah yang menyebabkan seringnya terjadi implementasi konsep-konsep yang terkesan dipaksakan, alias tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Anggapan bahwa ‘secara teori seperti itu’ menjadi sebab utama terjadinya salah ‘praktek’ seperti kasus di atas. Faktor kemampuan secara praktis memang tidak kelihatan, tetapi hasilnya dapat dilihat nyata. Kepuasan konsumen tentu menjadi indikator keberhasilan seorangan pamong dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Demikian besarnya peran seorang pamong dalam pelaksanaan fungsi Pemerintahan di bidang public services menuntut PemerintahDaerah sebagai penentu kebijakan untuk benar-benar jeli memilih birokrat yang pas ditempatkan dalam posisi tersebut. Harus ada pemahaman yang tepat atas posisi Pamong Praja dalam Pemerintahan. Keberhasilan pelayanan menjadi harapan besar PemerintahDaerah. Yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana mencari orang yang tepat untuk posisi seorang pamong??
Bila kita lihat sejarah kedudukan Pamong Praja di tanah air, sejak zaman Belanda sudah memperoleh posisi yang berbeda diantara jabatan publik lainnya. Besarnya perhatian Pemerintahsaat itu terhadap jabatan Pangreh Praja (istilah Pamong Praja saat itu) dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang dibangun khusus untuk mendidik calon-calon Pamong Praja tersebut. Di zaman Belanda didirikan MOSVIA dan OSVIA, kemudian dilanjutkan oleh PemerintahIndonesia dengan membuka pendidikan Kursus Dinas C (KDC). Dengan semakin besarnya kebutuhan Pemerintahakan tenaga ahli di bidang Pemerintahan, di tahun 1956 didirikan APDN untuk pertama kalinya di Malang, yang kemudian didirikan pula di beberapa daerah di Indonesia. Begitu juga Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) dibentuk untuk semakin memantapkan kemampuan Pamong Praja dalam tataran konsep-konsep Pemerintahan. Perlunya kesamaan persepsi, penanaman nilai-nilai integritas, kesatuan wawasan nusantara, dan untuk memupuk rasa persatuan-kesatuan diantara jiwa Pamong Praja, maka perlu dibangun suatu wadah pendidikan Pamong Praja dalam satu tempat pembinaan dan pendidikan. Atas dasar itulah dibangun APDN Nasional sebagai integrasi dari seluruh APDN daerah. Selanjutnya APDN Nasional ini berkembang menjadi STPDN, dan saat ini menjadi IPDN.
Demikian besar peran Pamong Praja dalam dunia Pemerintahan telah disadari sejak dulu oleh pemerintah. Namun ironis saat ini, PemerintahDaerah di era otonomi saat ini seolah-olah ingin mengeleminasi peran Pamong Praja. Departemen Dalam Negeri tetap konsisiten mencetak kader-kader Pamong Praja, namun daerah seolah-olah berpikiran bahwa tidak begitu penting menggunakan ‘produk’ Depdagri tersebut. Bukan karena tidak bermutu, tapi karena daerah menganggap bahwa (mungkin) posisi Pamong Praja dapat diisi oleh siapa saja. Pamong Praja yang dicetak tidak semata-mata hanya unggul dalam hal kemampuan di bidang akdemis dan praktis, tetapi juga harus memiliki jiiwa integritas dan bersedia mengawal NKRI.
Demikian penting dan strategisnya posisi Pamong Praja dalam era otonomi saat ini, terutama untuk menjaga keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya posisi tersebut harus diisi oleh birokrat yang profesional di bidangnya, memahami profesi Pamong Praja sebagai profesi pengabdian, memiliki jiwa integritas nasional, demokratis dan negarawan. Dengan demikian sudah menjadi kewajiban daerah untuk memilih orang yang tepat untuk menduduki jabatan Pamong Praja tersebut.***nyoman agus

BIROKRASI DAN PAMONG PRAJA

BIROKRASI DALAM OTONOMI
PEMERINTAHAN sebagai sebuah proses yang kompleks memiliki peran penting dalam usaha mewujudkan kesejahteraan warga negara. Dalam proses tersebut tentu ada upaya-upaya yang secara yuridis formal wajib dilakukan oleh penyelenggara proses tersebut. Segala usaha guna mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya menjadi sebuah tanggung jawab besar bagi Pemerintah selaku pemegang kekuasaan dalam menyelenggarakan proses dimaksud.
Peran PemerintahDaerah dalam usaha mewujudkan cita-cita negara tersebut menjadi sangat penting di era reformasi saat ini. Betapa tidak, di era otonomi sekarang ini, daerah dituntut untuk berperan lebih besar ketimbang Pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan memang daerah-lah yang lebih tahu apa kebutuhan sesungguhnya, bagaimana kedaan riil masyarakatnya, serta potensi apa yang benar-benar layak untuk dikembangkan untuk kemajuan daerah yang bersangkutan. Pendekatan pelayanan juga menjadi pertimbangan utama dalam upaya penguatan peran PemerintahDaerah saat ini.
Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi sebuah harapan besar dalam reformasi otonomi di Indonesia. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan di luar urusan yang menjadi kewenangan Pemerintahpusat adalah sebuah kesempatan emas bagi daerah untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita daerah dan cita-cita nasional. Daerah diberikan kewenangan untuk mebuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang pada dasarnya bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebab, berawal dari kesejahteraan masyarakat daerah-lah maka kesejahteraan masyarakat secara nasional dapat terwujud.
Guna mewujudkan apa yang diamanatkan UU tersebut, maka daerah harus mulai berbenah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Pola-pola pelayanan masyarakat yang tradisionil hendaknya direformasi sehingga menjadi suatu sistem pelyanan yang modern. Performace birokrasi yang selalu berorientasi pada kepentingan pribadi harus dihilangkan dan diterapkan pola kerja birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan pemerintah. Efektifitas dan efisiensi pelayanan menjadi tuntutan utama masyarakat modern saat ini. Pelayanan kepada masyarakat harus selalu memperhatikan aspek kepuasan mereka. Bila dianalogikan sebagai sebuah badan usaha, maka kepuasan konsumen menjadi yang pertama dan utama dalam menciptakan produk. Demikian juga dengan produk-produk Pemerintahan, apa yang dihasilkan dari sebuah proses ‘produksi’ dalam Pemerintahan harus dapat dihasilkan suatu produk pelayanan yang dapat memberikan kenyamanan dan kepuasan konsumen (masyarakat sebagai penerima produk Pemerintahan).

PAMONG PRAJA DALAM BIROKRASI
Bukan hal yang mudah merombak apa yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun . Pola pikir birokrat kita cenderung kaku, tradisional, parental, dan menganut politik ABS. Pola seperti inilah yang dapat mengahambat pelayanan kepada masyarakat. Perlu ada reformasi birokrasi secara menyeluruh dalam usaha memperbaiki citra pelayan publik yang sangat terpuruk belakangan ini. Penanaman nilai-nilai etika bagi calon birokrat harus ditekankan. Disiplin menjadi hal sangat urgen dalam kondisi seperti ini.
Menurut Prof. Talidziduhu Ndraha yang menyatakan bahwa ujung tombak Pemerintahan ada pada unit-unit Pemerintahan terendah, yaitu Kelurahan, Kecamatan, Kantor Dinas, dan organisasi Pemerintahyang tugas utamanya sebagai pelayan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu perlu orang-orang yang pas, right man on the right place, untuk menempati posisi inti tersebut. Dikatakan posisi inti karena mereka-mereka lah yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Melihat kebutuhan pelayan yang handal pada situasi birokrasi seperti sekarang ini, maka diperlukan profesi pelayan yang benar-benar bisa diharapkan menjadi seorang pelayan sekaligus pengayom masyrakat. Pamong Praja, sebuah profesi dalam birokrasi merupakan profesi yang paling dekat dengan pelayanan kepada masyarakat. Hampir tidak bisa dihindari bahwa peran Pamong Praja saat ini semakin penting dalam mewujudkan pelayanan prima. Profesi pamong adalah sebuah profesi pengabdian yang membutuhkan kepekaan yang tinggi atas kondisi masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam upacara pengukuhan Pamong Praja Muda lulusan IPDN tahun 2005 mengatakan bahwa Pamong Praja harus memiliki empati yang tinggi dalam memahami alam pikiran dan alam perasaan masyarakat.
Melihat posisi strategis dari Pamong Praja, maka harus dibentuk pamong-pamong yang benar-benar profesional, yang mampu memahami sekaligus menjalankan kewajibannya dengan penuh tangung jawab. Profesi pamong tentu berbeda dengan birokrat lainnya, oleh karena itu keahlian khusus bagi profesi pamong menjadi sebuah tuntutan bagi mereka yang berniat masuk kedalamnya. Perbedaan itu terlihat jelas dari aspek-aspek yang diutamakan dalam mengemban tugasnya. Seni memimpin dan melayani adalah kebutuhan utama seorang pamong, maka dari itu diperlukan pemahaman yang spesifik akan profesi Pamong Praja. Aspek teoritis hanya dimanfaatkan sebagai pendukung dalam bertugas, selebihnya kemampuan secara praktis yang lebih banyak berperan. Praktis dalam artian memberikan pelayanan, memimpin organisasi, serta menjalin hubungan yang baik dengan komponen birokrasi yang lain. Pamong Praja juga memiliki tugas ganda, yaitu sebagai konseptor yang bekerja di belakang meja dan sekaligus sebagai pelaksana yang harus terjun ke lapangan, memantau masyarakatnya, serta mengoptimalkan pelayanan. Hal tersebut berbeda dengan birokrat yang lebih banyak bekerja di belakang meja tanpa mau tahu kondisi di lapangan seperti apa.
Peran Pamong sering kali disepelekan oleh beberapa pihak, termasuk Pemerintah sendiri. Padahal Pamong Praja-lah yang pada dasarnya memegang kunci suksesnya pelaksanaan fungsi Pemerintahan di bidang public services. Banyak orang tidak menyadari arti penting posisi Pamong Praja dalam tataran birokrasi. Oleh karena itu tidak jarang posisi Pamong Praja ini diisi dari orang-orang yang tidak jelas latar belakangnya. Aspek akademis mungkin menjadi pertimbangan utama dari PemerintahDaerah dalam menempatkan seseorang sebagai Pamong Praja. Menurut hemat penulis hal itu belumlah cukup. Pamahaman secara teoritis terkadang sulit diimplementasikan dalam tataran praktis. Kasus seperti inilah yang menyebabkan seringnya terjadi implementasi konsep-konsep yang terkesan dipaksakan, alias tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Anggapan bahwa ‘secara teori seperti itu’ menjadi sebab utama terjadinya salah ‘praktek’ seperti kasus di atas. Faktor kemampuan secara praktis memang tidak kelihatan, tetapi hasilnya dapat dilihat nyata. Kepuasan konsumen tentu menjadi indikator keberhasilan seorangan pamong dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Demikian besarnya peran seorang pamong dalam pelaksanaan fungsi Pemerintahan di bidang public services menuntut PemerintahDaerah sebagai penentu kebijakan untuk benar-benar jeli memilih birokrat yang pas ditempatkan dalam posisi tersebut. Harus ada pemahaman yang tepat atas posisi Pamong Praja dalam Pemerintahan. Keberhasilan pelayanan menjadi harapan besar PemerintahDaerah. Yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana mencari orang yang tepat untuk posisi seorang pamong??
Bila kita lihat sejarah kedudukan Pamong Praja di tanah air, sejak zaman Belanda sudah memperoleh posisi yang berbeda diantara jabatan publik lainnya. Besarnya perhatian Pemerintahsaat itu terhadap jabatan Pangreh Praja (istilah Pamong Praja saat itu) dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang dibangun khusus untuk mendidik calon-calon Pamong Praja tersebut. Di zaman Belanda didirikan MOSVIA dan OSVIA, kemudian dilanjutkan oleh PemerintahIndonesia dengan membuka pendidikan Kursus Dinas C (KDC). Dengan semakin besarnya kebutuhan Pemerintahakan tenaga ahli di bidang Pemerintahan, di tahun 1956 didirikan APDN untuk pertama kalinya di Malang, yang kemudian didirikan pula di beberapa daerah di Indonesia. Begitu juga Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) dibentuk untuk semakin memantapkan kemampuan Pamong Praja dalam tataran konsep-konsep Pemerintahan. Perlunya kesamaan persepsi, penanaman nilai-nilai integritas, kesatuan wawasan nusantara, dan untuk memupuk rasa persatuan-kesatuan diantara jiwa Pamong Praja, maka perlu dibangun suatu wadah pendidikan Pamong Praja dalam satu tempat pembinaan dan pendidikan. Atas dasar itulah dibangun APDN Nasional sebagai integrasi dari seluruh APDN daerah. Selanjutnya APDN Nasional ini berkembang menjadi STPDN, dan saat ini menjadi IPDN.
Demikian besar peran Pamong Praja dalam dunia Pemerintahan telah disadari sejak dulu oleh pemerintah. Namun ironis saat ini, PemerintahDaerah di era otonomi saat ini seolah-olah ingin mengeleminasi peran Pamong Praja. Departemen Dalam Negeri tetap konsisiten mencetak kader-kader Pamong Praja, namun daerah seolah-olah berpikiran bahwa tidak begitu penting menggunakan ‘produk’ Depdagri tersebut. Bukan karena tidak bermutu, tapi karena daerah menganggap bahwa (mungkin) posisi Pamong Praja dapat diisi oleh siapa saja. Pamong Praja yang dicetak tidak semata-mata hanya unggul dalam hal kemampuan di bidang akdemis dan praktis, tetapi juga harus memiliki jiiwa integritas dan bersedia mengawal NKRI.
Demikian penting dan strategisnya posisi Pamong Praja dalam era otonomi saat ini, terutama untuk menjaga keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya posisi tersebut harus diisi oleh birokrat yang profesional di bidangnya, memahami profesi Pamong Praja sebagai profesi pengabdian, memiliki jiwa integritas nasional, demokratis dan negarawan. Dengan demikian sudah menjadi kewajiban daerah untuk memilih orang yang tepat untuk menduduki jabatan Pamong Praja tersebut.***nyoman agus