Rabu, 01 April 2009

THINK GLOBALLY AT LOCALLY**

prajabali.blogspot.com myspace graphic comments
Kunjungi goestrie.multiply.com


GLOBALISASI menjadi isu penting dalam tataran kehidupan dunia saat ini. Dimana sekarang ini dunia seolah-oleh menjadi satu-kesatuan yang tidak lagi dibatasi oleh jarak. Segala kemudahan muncul seiring dengan perkembangan teknologi. Ekonomi di berbagai negara tumbuh pesat akibat adanya kerjasama ekonomi antar negara atas nama globalisasi. Sedikit demi sedikit derajat hidup manusia di bumi ini terangkat akibat pergaulan global yang membawa berbagai pengaruh dalam peradaban umat manusia. Dengan kata lain, globalisasi sudah menjadi kebutuhan dalam setiap detak kehidupan masyarakat dunia saat ini
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mau tidak mau juga harus siap dengan meluasnya gejala globalisasi tersebut. Seiring dengan hal tersebut, Indonesia tentu saja tidak bisa menghindar dari berbagai dampak yang lahir dari globalisasi tersebut, baik itu positif maupun negatif. Di sinilah pemimpin negara diuji untuk dapat menghadapi tantangan tersebut. Pemimpin Indonesia tentu saja harus bisa menerima dampak positif yang dibawa oleh arus globalisasi tersebut dan sedapat mungkin harus bisa meminimalisir atau menghindar dari dampak negatif yang ditimbulkan meskipun hal itu sulit untuk dilakukan.
Pemimpin indonesia saat ini harus bisa think globally at locally , artinya harus bisa berpikir global tetapi tetap dalam batas nilai-nilai lokal yang dimiliki bangsa ini. Meskipun globalisasi itu menjanjikan berbagai perubahan menuju perbaikan, tetapi ekses negatif yang ditimbulkan juga bisa saja membahayakan setiap negara, termasuk Indonesia. Untuk itu benteng yang paling tepat adalah dengan tetap menjaga nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada sejak ratusan tahun silam dalam bumi pertiwi ini.
Sekalipun demikian, pemimpin tidak boleh kaku dalam menghadapi tantangan jaman saat ini. Mengambil kebijakan tidak selamanya dengan cara-cara konvensional. Nilai budaya lokal tidak selamanya bercorak kuno dan tradisionil. Masih banyak aspek budaya bangsa yang masih relevan untuk diaplikasikan dan dijadikan benteng penahan arus negatif dari modernisasi yang terjadi. Nilai-nilai tersebut juga sudah mengalami modernisasi namun tidak mengubah substansi “nilai kearifan” yang ada.
Di sinilah seorang pemimpin itu harus bisa membaca situasi dan kondisi yang berkembang. Kebijaksanaan dalam mengambil kebijakan harus tetap dipertahankan. Kebijaksanaan yang didasari oleh sifat lokal bangsa Indonesia masih bisa dijadikan landasan dalam menentukan kebijakan yang logis dan ilmiah. Hal inilah yang sulit ditemukan saat ini. Akal sehat terkadang hilang ditelan kepentingan dan tendensi tertentu. Akhirnya keputusan yang selayaknya bermanfaat bagi rakyat malah berubah menjadi bencana. Pemimpin yang seperti itu pastilah tidak membentengi diri dengan jati diri lokal yang dimiliki bangsa ini. Pemimpin yang berkutat pada urusan global tanpa mau melandasi diri dengan kepekaan yang tinggi terhadap kondisi masyarakat hanya akan membawa kesengsaraan bagi rakyat.
Sebagaimana kita lihat saat ini, dampak globalisasi dalam setiap celah kehidupan masyarakat di Indonesia sudah sangat beragam. Dampak yang tidak bisa dipungkiri adalah dampak sosial. Globalisasi identik dengan aspek ekonomi, teknologi informasi, dsb. Namun tidak setiap orang merasakan perkembangan jaman tersebut. Ada sisi lain dalam kehidupan masyarakat yang lauh dari cita-cita modernitas tersebut. Sebaliknya, sisi ekonomi membawa sebagian masyarakat kita hidup di bawah perintah orang asing dengan berharap pendapatan darinya. Situasi seperti itu tentunya sangat memprihatinkan, mengingat dampak terparah dari globalisasi itu adalah kemiskinan. Menghadapi kondisi seperti itu, pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang mampu memberi rasa keadilan bagi rakyatnya. Pemimpin tersebutl harus memiliki empati yang tinggi dalam membaca situasi sosial masyrakatnya.
Pemimpin dalam era globalisasi saat ini harus lincah dan lihai membaca situasi global. Situasi yang berkembang di negara-negara maju sangat berpengaruh terhadap keadaan di negara-negara berkembang. Oleh karena itu perlu kepekaan tinggi dalam merespon perkembangan situasi. Sebagai contoh, krisis keuangan yang sudah mengglobal sekarang ini. Kita ketahui bahwa krisis moneter itu pada awalnya terjadi pada negara maju, kemudian sangat memberikan kekhawatiran bagi negara-negara berkembang. Bila salah dalam menentukan arah kebijakan (ekonomi), maka sangat mungkin sekali akan semakin banyak orang miskin di negeri ini.
Sikap tegas juga harus dimiliki oleh pemimpin di era globalisasi. Ketegasan dimaksud adalah sikap yang tidak mudah mendapat pengaruh dari pihak-pihak yang memang memiliki kepentingan tertentu. Kepentingan rakyat harus tetap menjadi yang utama. Keragu-raguan dalam mengambil keputusan hanya akan memperparah keadaan. Situasi global yang semakin tidak menentu sangat membutuhkan pemimpin negara yang cepat dalam mengambil tindakan, namun harus tetap tegas.
Think globally at locally juga dimaksudkan bahwa pemimpin itu memanfaatkan potensi bangsa yang dimiliki . Potensi budaya bangsa Indonesia sangat beragam. Di dalamnya tertanam nilai-nilai luhur yang patut dipedomani dalam situasi seperti apapun. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana membawa nilai-nilai lokal bangsa Indonesia ke dalam kancah pergaulan internasional. Di sinilah diperlukan pemimpin yang bisa membawa citra Indonesia ke dalam politik dunia.
Bila kita lihat jauh ke belakang, banyak sekali tokoh-tokoh kerajaan di jaman dahulu yang bisa dipedomani. Itu adalah milik asli bangsa Indonesia. Di sini bukan bermaksud mengajak pemimpin Indonesia untuk kembali ke jaman kerajaan, bukan. Jaman sangat jauh dengan kondisi pada ratusan tahun lalu. Tetapi dalam konteks berbicara think globally at locally ada satu nilai yang masih sangat relevan sampai saat ini yaitu nilai-nilai dan gaya kepemimpinan leluhur bangsa ini. Nasionalisme yang tinggi dari zaman kerajaan tersebut telah mampu membawa keutuhan dan kejayaan negeri ini dulunya. Hal seperti itu mungkin tidak ada di negeri lain. Bila pemimpin bisa mempedomani nilai-nilai dan gaya kepemimpinan zaman kerajaan dulu, bukan

Selasa, 24 Maret 2009

KEBIJAKAN PENGANGKATAN SEKDES MENJADI PNS

A. PENDAHULUAN

Lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan yang sangat mendasar dalam tatanan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Banyak perubahan sistem dan mekanisme penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang tercantum dan menjadi substansi penting dalam UU tersebut. Hal ini pula yang memberikan harapan bagi penyelenggara Pemerintahan di Daerah dalam mewujudkan Pemerintahan yang lebih efektif dan efisien.
Perubahan substantif yang dibawa oleh UU Nomor 32 Th 2004 tidak saja pada level Pemerintah Daerah, tetapi juga memberikan warna lain pada penyelenggaraan Pemerintahan di tingkat Kecamatan, Kelurahan, dan Desa. Hal ini didasari atas pentingnya mewujudkan Pemerintahan yang baik yang dimulai dari level Pemerintahan paling bawah. Dimana pada tingkat Pemerintahan ini terjadi proses interaksi langsung antara Pemerintah dengan masyrakat dalam rangka pemberian pelayanan Pemerintahan. Di sanalah hubungan Pemerintahan itu menjadi nyata. Di sana juga terjadi kontrol konsumen, kontrol sosial, evaluasi, dan feed back Pemerintahan (Ndraha,2005:40).
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut ada hal yang menarik untuk disimak terkait dengan bab yang mengatur tentang Desa. Pasal 202 menerangkan bahwa Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa, dimana perangkat Desa dimaksud terdiri adari Sekretaris Desa dan perangkat Desa lainnya. Lebih lanjut pasal 202 ayat (3) menyatakan bahwa “Sekretaris Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan”.
Ayat dari pasal tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa Sekretaris Desa (Sekdes) diisi dari PNS. Di sini penulis sendiri menilai bahwa adanya ketentuan tersebut bertujuan agar penyelenggaraan admisnistrasi Pemerintahan Desa terlaksana lebih baik. Hal tersebut menurut penulis cukup logis, mengingat posisi Sekdes bisa dikatakan sebagai ‘otak’ dari penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Segala proses administrasi yang berkaitan denga penyelenggaraan Pemerintahan Desa diatur dan dikendalikan oleh Sekdes. Dengan kata lain bagian sekretariat Desa adalah dapur penyelenggaraan Pemerintah Desa. Dengan demikian wajar apabila ketentuan tersebut diberlakukan untuk Sekdes.
Secara normatif, pengisisan jabatan Sekdes oleh PNS dilatarbelakangi oleh adanya Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, khususnya rekomendasi nomor 7 yang substansinya adalah kemungkinan pemeberian otonomi bertingkat terhadap Provinsi, Kabupaten/Kota, serta Desa/Nagari/Marga, dsb. Menurut Wasistiono dan Tahir (2006:34), dari TAP MPR tersebut terkandung maksud untuk mengubah otonomi Desa dari otonomi yang bersifat pengakuan karena muncul dan tumbuh dari masyarakat, menjadi otonomi pemberian dari Pemerintah pusat.
Menurut Direktur Pemerintahan Desa dan Kelurahan Depdagri, Parsadan Girsang, pengisisan jabatan Sekdes dengan status PNS tersebut merupakan salah satu program dari Depdagri yang tertuang dalam RPP tentang pemantapan Desa dan Kelurahan. Lebih lanjut Girsang menyatakan bahwa kondisi administrasi Desa terutama di luar Jawa sangat amburadul, sehingga Pemerintah perlu memikirkan adanya perangkat Desa yang bisa mengatur sistem administrasi Desa. Dan menurutnya orang yang paling tepat adalah Sekdes itu sendiri.
Guna mewujudkan Pemerintahan Daerah yang maju, profesional, serta tercapainya pelayanan publik yang baik, maka organisasi Pemerintah Desa harus diperkuat dulu. Kelemahan Pemerintah Desa saat ini adalah status perangkatnya yang belum jelas. Perangkat desa pada umunya bekerja atas dasar pengabdian kepada Desa. Namun, apabila seluruh perangkat Desa yang diangkat sebagai PNS, maka akan dapat memberatkan keuangan Pemerintah Daerah dan Pemerintah pusat. Oleh karena itu, yang diangkat PNS hanya sekretaris desa, dengan alasan sekretaris desa menjadi otak manajemen dan administrasi di kantor Pemerintah Desa (Wasistiono dan Tahir, 2006:34).
Terlepas dari alasan teknis dan normatif yang dikemukan di atas, pengangkatan Sekdes menjadi PNS pastilah memiliki tujuan yang baik terutama dalam rangka mewujudkan masyarakat desa yang lebih mandiri dan terdidik. Selain itu, dengan adanya ketentuan tersebut maka berimplikasi juga pada level pemrintahan yang lebih tinggi yaitu Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi.

B. DASAR HUKUM

Ketentuan mengenai pengangkatan Sekdes menjadi PNS ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Adapun peraturan perundang-undangan tersebut yang secara langsung dan eksplisit menyatakan ketentuan pengangkatan Sekdes menjadi PNS yaitu :
1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil.
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa menjadi Pegawai Negeri Sipil.



C. Permasalahan, Kekurangan, dan Kelebihan dari Kebijakan Pengangkatan Sekdes Menjadi PNS

Disadari atau tidak, kebijakan pengangkatan Sekdes menjadi PNS ini telah menimbulkan pro-kontra dalam masyarakat. Banyak yang mempertanyakan efektivitas kebijakan ini, tidak sedikit pula yang mendukung kebijakan ini dengan alasan perbaikan sistem administrasi Pemerintahan Desa.
Ketika masa-masa awal sosialisasi kebijakan baru ini, ribuan Sekdes se-Jawa-Bali berbondong-bondong ke Jakarta memperjuangkan harapan mereka kepada Pemerintah/DPR agar Sekdes bisa diangkat menjadi PNS tanpa persyaratan yang menyulitkan. Maklum saja, hampir 3 tahun berlakunya UU No 32 th 2004, belum satupun ketentuan pelaksana yang berkaitan dengan pengangkatan Sekdes menjadi PNS dikeluarkan Pemerintah. Hal ini pulalah yang membuat Sekdes di seluruh Indonesia menuntut untuk segera dikeluarkan PP dan peraturan pelaksana lainnya yang mengatur tentang pengangkatan Sekdes menjadi PNS. Kemudian baru pada tahun 2007 keluar PP Nomor 45 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pengangkatan Sekdes Menjadi PNS, yang ditindaklanjuti dengan keluarnya Permendagri Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Bagi Kepala Desa (Kades) dan perangkat Desa lainnya, kebijakan ini tentu saja menimbulkan kecemburuan dan rasa diskriminasi. Sikap kecemburuan itu bisa saja diwujudkan dengan kurangnya semangat dan motivasi kerja dari Kades dan perangkat Desa lainnya dan menyerahkan sepenuhnya pekerjaan adiministrasi kepada Sekdes.
Di lain pihak banyak anggapan yang menyatakan bahwa tanggung jawab dan beban tugas Sekdes jauh lebih berat dai tugas perangkat Desa lainnya dan bahkan dari Kades sendiri, karena urusan-urusan teknis cenderung diserahkan kepada Sekdes, sedangkan urusan yang sifatnya politis barulah menjadi tanggung jawab Kades. Dengan adanya ketentuan ini dianggap sebagai penghargaan bagi Sekdes.
Pertanyaan-pertanyaan pesimis banyak muncul terkait dengan kebijakan ini, seperti bagaimana perhitungan masa kerja, apakah dihitung dari sejak diangkat menjadi Sekdes atau sejak diangkat PNS? Bagaimana sistem karier, pembinaan, dan pengawasan yang diberikan kepada Sekdes PNS tersebut? Bagaimana jenjeng eselonisasinya, apakah diberikan eselon sama dengan Seklur atau jabatan ini tanpa eselon? Serta bagaimana ketentuan pensiunnya?
Secara umum, kehadiran pasal tersebut telah menimbulkan polemik, baik pada diri Sekdes sendiri sebgai unsur Pemerintah Desa, Kepala Desa, serta perangkat Desa lainnya. Permasalahan yang saat ini dihadapi dalam implementasi ketentuan tersebut adalah adanya perbedaan pandangan khusunya Pemerintah Desa sndiri terhadap kemungkinan hadirnya tantangan dan peluang yang muncul terkait ketentuan tersebut.
Menurut penulis sendiri, ada beberapa permasalahan yang timbul terkait dengan kebijakan pengangkatan Sekdes menjadi PNS ini, yaitu dari sisi psikologis, sosisologis, politis, ekonomi, serta peluang munculnya KKN.
Dari sisi psikologis, pengangkatan Sekdes menjadi PNS tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial diantara perangkat desa yang lain, termasuk Kepala Desa. Hal ini akan berpengaruh pada harmonisasi kerja yang tidak efektif. Dari sisi sosiologis, pengangkatan Sekdes menjadi PNS sedikit demi sedikit akan memperlemah posisi otonomi asli yang dimiliki masyarakat Desa, karena salah satu Aparat Desa sudah menjadi aparat Pemerintah Daerah, dan menjadi perpanjangan tangan pejabat Daerah. Dari sisi politis, Sekdes berstatus PNS akan berperan lebih penting daripada Kepala Desa. Ditakutkan pula bahwa secara perlahan-lahan kewenangan Kades akan terkikis dan beralih menjadi kewenangan Sekdes. Dualisme kepemimpinan memang tidak akan menonjol, tetapi kekuasaan, legitimasi, dan kewenangan Kades akan merosot secara tajam. Sedangkan dari sisi ekonomi, Sekdes berstatus PNS sudah pasti akan memperberat beban APBD, karena Sekdes PNS adalah PNS Daerah Kabupaten/Kota.
Status Sekdes menjadi PNS tentu saja menggiurkan bagi siapa saja, terutama bagin warga Desa berpendidikan rendah dan tidak punya pekerjaan tetap. Peluang ini bisa saja dimanfaatkan oleh Kepala Desa terpilih. Kades terpilih bisa saja mengangkat keluarga, teman, atau siapa saja yang dirasa dekat dengannya untuk menjadi Sekdes, yang selanjutnya akan berstatus PNS.
Sementara itu, Wasistiono dan Tahir (2006:34-35) menyatakan kekurangan pengisian Sekdes oleh PNS sebagai berikut :
1. Menimbulkan kecemburuan bagi Kades dan perangkat Desa lainnya, terutam pada desa-desa yang tidak memiliki sumber keuangan yang cukup untuk memberi imbalan bagi perangkat desanya. Kecemburuan ini dapat menimbulkan suasana kerja yang kontraproduktif.
2. Rawan manipulasi dalam proses pengisian jabatan Sekdes, sehingga dapat menimbulkan konflik.
3. Intervensi Pemerintah supradesa terhadap desa menjadi lebih besar melalui tangan-tangan Sekdes.
4. Terbuka peluang terjadinya konflik antara Kepala Desa dengan Sekdes dalam hal hubungan kerja, apabila tatanan kerjanya tidak diatur dengan rinci dan dilaksanakan secara konsisten, karena adanya duplikasi komando terhadap Sekdes.

Seperti telah dikemukakan di atas, implementasi kebijakan pengangkatan Sekdes menjadi PNS pada prinsipnya untuk memperbaiki sistem administrasi desa. Dengan diangkatnya Sekdes menjadi PNS, paling tidak Sekdes lebih bertanggung jawab untuk mengelola administrasi Desa menjadi lebih baik.
Sedangkan Wasistiono dan Tahir (2006:34) menyatakan bahwa kelebihan pengisian Sekdes oleh PNS sebagai berikut :
1. Sekdes memiliki kepastian kepegawaian, penghasilan, setta karier, sehingga dapat memberikan motivasi untuk berprestasi.
2. Adanya aktor penggerak perubahan di bidang manajemen dan administrasi Pemerintahan untuk tingkat desa.
3. Adanya aktor penghubung yang dapat menjadi perantara kebijakan perubahan yang datang dari Pemerintah supradesa.


D. Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekdes Menjadi PNS

Adapun persyaratan pengangkatan Sekdes menjadi PNS yaitu sebagi berikut :
1. Sekdes yang diangkat dengan sah sampai dengan 15 Oktober 2004 dan masih melaksanakan tugas samapi berlakunya PP Nomor 50 Tahun 2007;
2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan kepada NegaraKesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
4. Tidak sedang menjalani hukuman karena melakukan tindakpidana berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
5. Sehat jasmani dan rohani;
6. Memiliki ijazah paling rendah Sekolah Dasar atau yang sederajat;
7. Berusia paling tinggi 51 (lima puluh satu) tahun terhitung pada 15 Oktober 2006.
Sekdes yang memenuhi persyaratan tersebut di atas diangkat sebagai PNS dalam pangkat Pengatur Muda golongan ruang II/a. Sekdes yang mempunyai ijazah lebih tinggi dari ijazah SMA diangkat sebagai PNS dalam pangkat / golongan ruang sesuai dengan ijazah SMA. Sedangkan yang memiliki ijazah lebih rendah dari ijazah SMA diangkat sebagai PNS dalam pangkat/golongan ruang sesuai dengan ijzah yang dimiliki.
Sedangkan tata cara pengangkatan Sekdes menjadi PNS adalah sebagi berikut :
1. Bupati/Walikota menyusun dat Sekdes di wilayahnya dan mengumpulkan berkas pengangkatan Sekdes tersebut;
2. Data Sekdes dan berkas pengangkatan tersebut disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Mendagri melalui Gubernur;
3. Mendagri melakukan verifikasi dan validasi data dan berkas Sekdes dari Gubernur tersebut;
4. Mendagri mengajukan usulan formasi Sekdes untuk Kabupaten/Kota kepada Meneg PAN dan tembusannya disampaikan kepada Kepala BKN;
5. Pengangkatan Sekdes menjadi PNS dilakukan secara bertahap sesuai formasi yang ditetapkan oleh Meneg PAN;
6. Formasi pengangkatan Sekdes menjadi PNS tersebut dialokasikan pada tiap Kecamatan, dengan memprioritaskan usia paling tinggi;
7. Menteri Dalam Negeri mengusulkan persetujuan pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara;
8. Kepala Badan Kepegawaian Negara memberikan persetujuan dan penetapan Nomor Identitas Pegawai Negeri Sipil (NIP) pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS dan diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri;
9. Persetujuan pengangkatan Sekretaris Desa dari Kepala BKN diteruskan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Bupati/Walikota melalui Gubernur;
10. Berdasarkan persetujuan Kepala Badan Kepegawaian Negara dan surat Mendagri kepada Bupati/Walikota tersebut, Bupati/Walikota menetapkan keputusan pengangkatan Sekdes menjadi PNS;

Namun permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana dengan nasib Sekdes yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi PNS, baik karena tanggal pengangkatan maupun karena terhalang syarat usia. Dalam PP Nomor 45 Tahun 2007 dinyatakan bahwa :
1. Sekretaris Desa yang tidak diangkat menjadi PNS diberhentikan dari jabatan Sekretaris Desa oleh Bupati/Walikota.
2. Sekretaris Desa yang tidak diangkat tersebut diberikan tunjangan kompensasi yang dihitung berdasarkan masa kerja selama yang bersangkutan menjadi Sekretaris Desa.
3. Besaran tunjangan kompensasi dihitung dengan cara sebagai berikut:
a. masa kerja 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun ditetapkan sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah);
b. masa kerja lebih dari 5 (lima) tahun dihitung sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah pertahun, dengan ketentuan secara kumulatif paling tinggi Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
4. Penetapan besaran tunjangan kompensasi bagi setiap Sekretaris Desa tersebut ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota dan dibebankan kepada APBD Kabupaten/Kota.

Adapun Sekdes yang diangkat dan belum memiliki ijazah SMA wajib mengikuti dan lulusa ujian penyetaraan. Sementara Sekdes yang sudah diangkat menjadi PNS dan menjalani masa jabatan selama 6 tahun dapat dimutasikan ke instansi lain sesusi kebijakan Pemda Kabupaten/Kota.

F. Kesimpulan dan Saran
Bila kita lihat kembali latar belakang dikeluarkannya kebijakan pengangkatan Sekdes menjadi PNS, yaitu untuk memperbaiki tata administrasi Pemerintah Desa. Maka cepat atau lambat kebijakan ini tentu akan membawa pengaruh terhadap peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga membawa permasalahan tersendiri dalam implementasinya. Jadi ada implikasi posisitf dan negatif yang timbul dari dikeluarkannya kebijakan ini.
Dari berbagai literatur dan media massa yang penulis jadikan bahan studi, secara umum kebijakan ini dapat diterima oleh semua pihak, baik dari Sekdes, Kepala Desa, maupun Perangkat Desa lainnya. Kendati demikian banyak tuntutan agar perangkat desa yang lain juga diberikan perlakuan hak yang sama seperti sekdes.
Implementasi kebijakan pengangkatan Sekdes menjadi PNS ini membawa permasalahan dilihat dari beberapa aspek, yaitu aspek psikologis perangkat desa, aspek sosiologis masyarakat desa, aspek politis kekuasaan Kepala Desa, dan aspek ekonomis ditinjau dari keuangan daerah, serta beberap permasalahan lainnya.
Dilihat dari aspek persyaratan dan tata cara pengangkatan, proses yang ditetapkan pemerintah sangat prosedural dan memperhatikan hak-hak administratif dari Sekdes serta sudah menjunjung rasa keadilan, baik yang diangkat menjadi PNS maupun yang tidak memenuhi persyaratan untuk diangkat menjadi PNS.
Dari paparan di atas, dapat diberikan saran sebagai berikut :
1. Sosialisasi atas kebijakan ini harus terus dilakukan, walaupun implementasinya sudah terlaksana, karena tidak semua masyarakat Desa paham akan kebijakan ini;
2. Harus diberikan pedoman lebih lanjut terkait dengan tugas-tugas perangkat Desa, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kekuasaan baik antara Kades dengan Sekdes, maupun dengan perangkat desa yang lain;
3. Mengenai persyaratan pendidikan, penulis berpendapat bahwa lebih baik jika Sekdes yang diangkat hanya yang ber-ijazah SMA, tanpa ada ujian penyetaraan bagi yang tidak memiliki ijazah SMA;
4. Perlu dikeluarkan peraturan yang mengatur mengenai eselonisasi ataupun status jabatan dari Sekdes berstatus PNS tersebut;
5. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas pengangakatan Sekdes menjadi PNS, sebagai bahan studi dan evaluasi bagi Pemerintah;
6. Sekdes yang diangkat menjadi PNS harus dari desa yang bersangkutan, mengingat beban sosiologis masyarakat desa;
7. Pemerintah perlu mengeluarkan aturan kepegawaian khusus dan keuangan selaku acuan bagi daerah dalam mendukung implementasi kebijakan pengangkatan dan penempatan Sekdes sebagai PNS;

Sabtu, 21 Februari 2009

DARI TEMU NASIONAL PAMONG II TH 2008 “BERSAMA MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK”

PAMONG PRAJA sebagai bagian dari birokrasi di Indonesia memegang posisi strategis dalam rangka penyelenggaraan proses pemerintahan. Dalam perjalanannya, Pamong Praja tidak pernah lepas dari kondisi politik yang berkembang pada setiap era-nya. Dapat tidaknya birokrasi menemukan makna sebagai organisasi pemerintahan yang dimiliki publik sangat tergantung pada peran Pamong Praja. Akibat dari politisasi Pamong Praja, birokrasi menjadi organisasi yang tidak bisa eksis sendiri, sulit menjadi netral apalagi independent. Pertanyaannya, bagaimana strategi percepatan reformasi birokrasi melalui revitalisasi Kepamongprajaan?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan substantif dan praktis tersebut, maka Forum Komunikasi Purna Praja menyelenggarakan acara “Temu Nasional Pamong (TNP) II tahun 2008”. Acara tersebut diselenggarakan di Hotel Millenium Sirih Jakarta pada tanggal 17-19 November 2008. Ditunjuk sebagai ketua panitia kegiatan yaitu Purna Praja La Ode Ahmad, dan sekretaris Purna Praja Subhan. Adapun tema yang diangkat pada acara tersebut adalah “Bersama Mewujudkan Pemerintahan yang Baik melalui Strategi Percepatan Reformasi dan Revitalisasi Peran Pamong Praja”.
Temu Nasional Pamong (TNP) II tahun 2008 merupakan rangkaian kegiatan silaturahmi seluruh Pamong Praja nusantara, dengan maksud untuk meningkatkan dan membangun kembali semangat Kepamongprajaan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan sosial kemasyarakatan serta nasionalisme antar sesama anak bangsa sebagai salah satu komponen perekat keutuhan NKRI dalam bingkai kebangsaan dan kebhineka-tunggalika-an. Selain itu, TNP II tahun 2008 ini sekaligus sebagai bentuk evaluasi, introspeksi dan menyusun rencana masa depan untuk dapat lebih berperan dalam pemerintahan dan pembangunan demi NKRI yang lebih baik ke depannya.
Acara pembukaan diawali dengan penampilan tari penyambutan Puspa Wresti yang dibawakan oleh Wanita Praja IPDN (dari Bali). Acara yang diikuti oleh ratusan Purna Praja itu dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri, Sekjen Depdagri, beberapa Gubernur dan Bupati/Walikota, serta sejumlah pejabat Depdagri dan IPDN. Dalam sambutannya, Mendagri mengingatkan kembali akan pentingnya peran Pamong Praja dalam era reformasi saat ini, “ Untuk itu Pamong Praja dituntut agar lebih memiliki profesioanlisme dalam melaksanakan tugas-tugasnya”, kata Mendagri. Selain itu Mendagri juga meminta agar Pamong Praja sebagai bagian dari birokrasi di tanah air tetap menjaga netralitas dalam bertugas dan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sementara itu Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional FKPP Asmin Safari Lubis mengatakan bahwa kompleksitas permasalahan kepemerintahan membutuhkan inovasi-inovasi yang canggih dan dukungan kepemimpinan yang kuat dalam penerapannya. Oleh sebab itu, “Komunikasi dan sharing pengalaman menjadi catatan yang berguna bagi tugas-tugas kita (Purna Praja) di lapangan”, katanya. Kesederhanaan seremonial, menurut Ketua Panitia, merupakan wujud empati organisasi atas keprihatinan situasi pemerintahan yang belum sesuai dengan hati nurani rakyat. Tetapi, “ Kaya substansi dan visi adalah gelora dan semangat organisasi dalam melakukan upaya sistematis reformasi birokrasi’, tambahnya.
Dalam TNP II ini akan dilaksanakan beberapa kegiatan. Rakernas merupakan agenda utama dalam TNP II ini. Rakernas dikatakan sebagai pintu masuk untuk mengkomunikasikan berbagai permasalahan yang berkembang. Dalam Rakernas tersebut akan dibahas permasalahan organisasi, pembuatan mandat-mandat untuk kepengurusan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu dibahas pula rencana strategis organisasi dan rencana aksi (program kerja) dalam periode satu tahun kedepan. Aspek lain adalah pembuatan database alumni dan rekomendasi organisasi bagi pemerintahan saat ini. Hal lain yang dibicarakan yaitu mengenai pembentukan dan deklarasi Perhimpunan Alumni Sekolah Kepamongprajaan yang meliputi alumni KDC, APDN, IIP, STPDN dan IPDN, serta perumusan rekomendasi terhadap isu-isu aktual tentang pemerintahan dan politik saat ini sebagai bentuk sumbang saran dan masukan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Dalam Temu Nasional Pamong tersebut juga diadakan Seminar Nasional Pemerintahan (Government Summit) yang diisi oleh pelaku-pelaku pemerintahan tingkat pusat. Dalam kesempatan itu juga diharapakan adanya masukan dari stake holder dan pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui pelaksanaan reformasi birokrasi. Tema yang diangkat dalam seminar nasional ini yaitu “ Reformasi Birokrasi dan Revitalisasi Peran Pamong Praja Menuju Pemerintahan yang Berwibawa dan Bermartabat”. Kegiatan seminar ini dilaksanakan dalam bentuk diskusi panel dengan menghadirkan praktisi, unsur media, akademisi, dan pengamat hukum, politik dan pemerintahan, serta kepala daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota). Adapun narasumber yang mempresentasikan materi dalam seminar tersebut antara lain Antasari Azhar,S.H. (Ketua KPK), Prof.DR.Miftah Thoha (UGM), Prof.DR.Arbi Sanit (pengamat politik/UI), serta beberapa Gubernur/Bupati yang ditunjuk. Dengan diselenggarakannya seminar nasional ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pemangku kepentingan (stake holders) pada umumnya dan pemerintah daerah pada khususnya dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui reformasi birokrasi.
Agenda lain dalam TNP II tersebut adalah pemberian Anugrah Pamong Award kepada para pelaku pemerintahan yang dianggap memnuhi syarat untuk itu. Tujuan dari pengabugrahan Pamong Award ini adalah agar apresiasi terhadap pelaku-pelaku pemerintahan terbaik ini semakin diakui publik. ***GUSTRI

Jumat, 13 Februari 2009

THINK GLOBALLY AT LOCALLY**

GLOBALISASI menjadi isu penting dalam tataran kehidupan dunia saat ini. Dimana sekarang ini dunia seolah-oleh menjadi satu-kesatuan yang tidak lagi dibatasi oleh jarak. Segala kemudahan muncul seiring dengan perkembangan teknologi. Ekonomi di berbagai negara tumbuh pesat akibat adanya kerjasama ekonomi antar negara atas nama globalisasi. Sedikit demi sedikit derajat hidup manusia di bumi ini terangkat akibat pergaulan global yang membawa berbagai pengaruh dalam peradaban umat manusia. Dengan kata lain, globalisasi sudah menjadi kebutuhan dalam setiap detak kehidupan masyarakat dunia saat ini
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mau tidak mau juga harus siap dengan meluasnya gejala globalisasi tersebut. Seiring dengan hal tersebut, Indonesia tentu saja tidak bisa menghindar dari berbagai dampak yang lahir dari globalisasi tersebut, baik itu positif maupun negatif. Di sinilah pemimpin negara diuji untuk dapat menghadapi tantangan tersebut. Pemimpin Indonesia tentu saja harus bisa menerima dampak positif yang dibawa oleh arus globalisasi tersebut dan sedapat mungkin harus bisa meminimalisir atau menghindar dari dampak negatif yang ditimbulkan meskipun hal itu sulit untuk dilakukan.
Pemimpin indonesia saat ini harus bisa think globally at locally , artinya harus bisa berpikir global tetapi tetap dalam batas nilai-nilai lokal yang dimiliki bangsa ini. Meskipun globalisasi itu menjanjikan berbagai perubahan menuju perbaikan, tetapi ekses negatif yang ditimbulkan juga bisa saja membahayakan setiap negara, termasuk Indonesia. Untuk itu benteng yang paling tepat adalah dengan tetap menjaga nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada sejak ratusan tahun silam dalam bumi pertiwi ini.
Sekalipun demikian, pemimpin tidak boleh kaku dalam menghadapi tantangan jaman saat ini. Mengambil kebijakan tidak selamanya dengan cara-cara konvensional. Nilai budaya lokal tidak selamanya bercorak kuno dan tradisionil. Masih banyak aspek budaya bangsa yang masih relevan untuk diaplikasikan dan dijadikan benteng penahan arus negatif dari modernisasi yang terjadi. Nilai-nilai tersebut juga sudah mengalami modernisasi namun tidak mengubah substansi “nilai kearifan” yang ada.
Di sinilah seorang pemimpin itu harus bisa membaca situasi dan kondisi yang berkembang. Kebijaksanaan dalam mengambil kebijakan harus tetap dipertahankan. Kebijaksanaan yang didasari oleh sifat lokal bangsa Indonesia masih bisa dijadikan landasan dalam menentukan kebijakan yang logis dan ilmiah. Hal inilah yang sulit ditemukan saat ini. Akal sehat terkadang hilang ditelan kepentingan dan tendensi tertentu. Akhirnya keputusan yang selayaknya bermanfaat bagi rakyat malah berubah menjadi bencana. Pemimpin yang seperti itu pastilah tidak membentengi diri dengan jati diri lokal yang dimiliki bangsa ini. Pemimpin yang berkutat pada urusan global tanpa mau melandasi diri dengan kepekaan yang tinggi terhadap kondisi masyarakat hanya akan membawa kesengsaraan bagi rakyat.
Sebagaimana kita lihat saat ini, dampak globalisasi dalam setiap celah kehidupan masyarakat di Indonesia sudah sangat beragam. Dampak yang tidak bisa dipungkiri adalah dampak sosial. Globalisasi identik dengan aspek ekonomi, teknologi informasi, dsb. Namun tidak setiap orang merasakan perkembangan jaman tersebut. Ada sisi lain dalam kehidupan masyarakat yang lauh dari cita-cita modernitas tersebut. Sebaliknya, sisi ekonomi membawa sebagian masyarakat kita hidup di bawah perintah orang asing dengan berharap pendapatan darinya. Situasi seperti itu tentunya sangat memprihatinkan, mengingat dampak terparah dari globalisasi itu adalah kemiskinan. Menghadapi kondisi seperti itu, pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang mampu memberi rasa keadilan bagi rakyatnya. Pemimpin tersebutl harus memiliki empati yang tinggi dalam membaca situasi sosial masyrakatnya.
Pemimpin dalam era globalisasi saat ini harus lincah dan lihai membaca situasi global. Situasi yang berkembang di negara-negara maju sangat berpengaruh terhadap keadaan di negara-negara berkembang. Oleh karena itu perlu kepekaan tinggi dalam merespon perkembangan situasi. Sebagai contoh, krisis keuangan yang sudah mengglobal sekarang ini. Kita ketahui bahwa krisis moneter itu pada awalnya terjadi pada negara maju, kemudian sangat memberikan kekhawatiran bagi negara-negara berkembang. Bila salah dalam menentukan arah kebijakan (ekonomi), maka sangat mungkin sekali akan semakin banyak orang miskin di negeri ini.
Sikap tegas juga harus dimiliki oleh pemimpin di era globalisasi. Ketegasan dimaksud adalah sikap yang tidak mudah mendapat pengaruh dari pihak-pihak yang memang memiliki kepentingan tertentu. Kepentingan rakyat harus tetap menjadi yang utama. Keragu-raguan dalam mengambil keputusan hanya akan memperparah keadaan. Situasi global yang semakin tidak menentu sangat membutuhkan pemimpin negara yang cepat dalam mengambil tindakan, namun harus tetap tegas.
Think globally at locally juga dimaksudkan bahwa pemimpin itu memanfaatkan potensi bangsa yang dimiliki . Potensi budaya bangsa Indonesia sangat beragam. Di dalamnya tertanam nilai-nilai luhur yang patut dipedomani dalam situasi seperti apapun. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana membawa nilai-nilai lokal bangsa Indonesia ke dalam kancah pergaulan internasional. Di sinilah diperlukan pemimpin yang bisa membawa citra Indonesia ke dalam politik dunia.
Bila kita lihat jauh ke belakang, banyak sekali tokoh-tokoh kerajaan di jaman dahulu yang bisa dipedomani. Itu adalah milik asli bangsa Indonesia. Di sini bukan bermaksud mengajak pemimpin Indonesia untuk kembali ke jaman kerajaan, bukan. Jaman sangat jauh dengan kondisi pada ratusan tahun lalu. Tetapi dalam konteks berbicara think globally at locally ada satu nilai yang masih sangat relevan sampai saat ini yaitu nilai-nilai dan gaya kepemimpinan leluhur bangsa ini. Nasionalisme yang tinggi dari zaman kerajaan tersebut telah mampu membawa keutuhan dan kejayaan negeri ini dulunya. Hal seperti itu mungkin tidak ada di negeri lain. Bila pemimpin bisa mempedomani nilai-nilai dan gaya kepemimpinan zaman kerajaan dulu, bukan tidak mungkin bangsa ini akan kembali disegani seperti ratusan tahun silam ketika jaman Majapahit ataupun Sriwijaya. HARUS BISA....!!

**Tulisan ini terpilih menjadi 100 essay terbaik yang dipilih oleh MODERNISATOR (Dr.DINO PATTI DJALAL – Staf Khusus Presiden RI). Penulis diundang dalam dialog ‘Kepemimpinan’ bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta

Rabu, 28 Januari 2009

REFLEKSI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

REFORMASI yang bergulir sepuluh tahun yang lalu mengamanatkan adanya perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan negara, termasuk penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Tonggak baru penyelenggaraan pemerintahan daerah diawali dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang membawa pola baru pemerintahan daerah setelah kurang lebih 24 tahun menggunakan konsep pemerintahan daerah warisan orde baru. Namun keberlakuan UU No.22 Th 1999 ini tidak panjang. Kurang lebih lima tahun berlakunya, UU ini harus direvisi kembali karena diangggap membawa instabilitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena peran DPRD yang begitu besar ketika itu. Akhirnya, tahun 2004 lahir kembali undang-undang tentang pemerintahan daerah yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
UU No.32 Tahun 2004 ini kembali menawarkan angin segar dalam tatanan pemerintahan daerah. Hal-hal yang mendasar dalam peneyelenggaraan otonomi daerah diatur dalam UU ini, seperti hubungan antara Kepala Daerah dengan DPRD, pemilihan kepala daerah secara langsung, dan pembentukan daerah baru (baca:pemekaran daerah). Perubahan yang luas dalam prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan otonomi daerah yang diatur dalam UU tersebut tentu saja membawa berbagai dampak dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Tentu saja kita harus melihat pula sejauh mana keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan otonomi daerah menurut UU No.32 Tahun 2004 tersebut dalam empat tahun perjalanannya. Walaupun tidak secara komprehensif dan detail bisa dievaluasi, paling tidak tulisan ini memberikan refleksi sederhana kepada pembaca sekalian. Refleksi ini tentu saja dari hasil pengamatan di lapangan seacara terbatas dan dari berbagai realita pemerintahan yang kita lihat dan baca melalui media massa.
Sejak pelaksanaan otonomi luas di Indonesia, beberapa daerah telah mampu menunjukkan kemandiriannya. Daerah-daerah tersebut sudah dianggap mampu menjalankan otonomi sesuai harapan pemerintah. Pelayanan publik semakin ditingkatkan, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan berhasil dilaksanakan. Beberapa daerah bahkan mampu mengembangkan potensi lokal yang dimiliki, daerah juga semakin giat menyelenggarakan best practise yang menjadi unggulan dan ciri khas daerah bersangkutan. Beberapa daerah yang berhasil dalam menyelenggarakan pelayanan publik dan telah memiliki best practise sebagai unggulan daerah antara lain Provinsi Gorontalo, Kab.Jambrana, Kab.Sragen, Kab.Solok, Kab. Musi Banyuasin, Kab. Kebumen, Kota Yogyakarta, dan beberapa daerah yang lain. Sungguh sebuah prestasi yang belum pernah tercapai selama orde baru. Kendati demikian masih banyak pula daerah yang masih belum mampu melaksanakan otonomi dengan baik.
Semangat masyarakat dalam melaksanakan otonomi dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah daerah otonom di tanah air. Terlepas dari adanya kepentingan elite dibalik pemekaran daerah, pembentukan (pemekaran) daerah (pada awalnya) dianggap sebagai sebuah upaya meningkatkan dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan terbentuknya daerah otonom baru maka pelayanan pemerintah kepada masyarakatnya semakin dekat, sehingga pelayanan publik lebih terasa dan lebih efektif dan efisien. Tetapi bila kita lihat, tidak semua daerah baru mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakatnya. Kesejahteraan masyarakat di sejumlah daerah di tanah air masih jauh dari harapan. Penyakit busung lapar, kurang gizi, angka putus sekolah, dan jumlah pengangguran masih sangat tinggi. Birokrasi juga masih menerapkan pola-pola lama yang menghambat proses pelayanan masyarakat. Hal itu menandakan bahwa tujuan awal pembentukan daerah baru belum sepenuhnya tercapai. Kesejahteraan dalam wadah pemekaran daerah masih sebatas impian. Bahkan justru dengan pembentukan daerah baru ini banyak dana negara dan daerah yang harus dikeluarkan. Organisasi yang menampung birokrasi membengkak, memaksa daerah untuk mengeluarkan anggaran lebih besar lagi baik untuk gaji pegawai maupun untuk biaya operasional organisasi. Walaupun UU No.32 Tahun 2004 memberikan kemungkinan untuk menghapus daerah otonom bila tidak sanggup lagi menjalankan otonomi, tetapi sampai saat ini belum ada daerah yangg dilebur atau dihapus karena dianggap gagal menjalankan otonomi.
Pelaksanaan otonomi daerah perlu didukung dengan adanya perangkat daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pembentukan organisasi perangkat daerah (OPD) menyesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan daerah. Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang organisasi perangkat daerah yang terbaru (PP No.41 Tahun 2007) telah pula memberikan batasan jumlah OPD yang diijinkan dengan kriteria yang sudah pula ditentukan. Namun, di sejumlah daerah masih ada kepala daerah yang membentuk OPD seenaknya saja, tanpa memperhatikan kriteria yang ditetapkan pemerintah, hanya memenuhi kepentingan pejabat birokrasinya yang tidak mau di-nonjob-kan. Akibatnya, organisasi menjadi bengkak, anggaran terbuang percuma, dan pelayanan kepada masyarakatpun tidak maksimal.
Hubungan antara Kepala Daerah dengan DPRD pasca pemberlakuan UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi semakin harmonis. Berbeda dengan ketika masa UU No.22 tahun 1999, dimana DPRD seolah-olah menjadi ‘hakim’ atas semua kebijakan Kepala Daerah. DPRD juga berperan sebagai ‘atasan’ dari kepala daerah. Akibatnya, jalannya pemerintahan menjadi tidak stabil karena terjadi jatuh bangun Kepala Daerah. Hubungan Kepala Daerah dengan DPRD dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah sejajar dan sama-sama bermitra dalam kerja, tidak ada yang saling menjatuhkan, tidak pula dalam hubungan hierarki. Dengan demikian pemerintahan relatif lebih stabil. Fungsi kontrol DPRD tetap dipertahankan sebagai bagian dari proses demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah. Baik DPRD maupun Kepala Daerah saling bekerja sama dalam menentukan arah kebijakan di daerah. Pola hubungan seperti ini dirasa cukup efektif dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Desa sebagai bagian dari masyarakat tradisional masih diberikan hak-haknya sesuai dengan susunan asli masyarakat adatnya. Nomenklatur desa juga tidak harus sama, nama dari kesatuan masyarakat hukum tersebut bisa saja berbeda sesuai dengan susunan asli masyarakat setempat. Namun perubahan Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa dalam UU No.32 Tahun 2004 memberikan kesan kemunduran demokrasi. Memang, dari sisi efisiensi, penentuan anggota Badan Permusyawaratan Desa jauh lebih efisien daripada pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa menurut UU No.22 Tahun 1999. Tetapi bila kita lihat dari sudut demokrasi, pemilihan BPD menurut UU No.22 tahun 1999 ini jauh dianggap lebih demokratis dan mencerminkan aspirasi dan kehendak masyarakat secara langsung.
Hal yang paling banyak disoroti dalam pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Hampir di setiap daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan Pilkada selalu diwarnai dengan isu-isu kecurangan, intimidasi warga, money politics, pertentangan masyarakat, bahkan tak jarang terjadi konflik yang berkepanjangan. Konsep awal memang baik, yaitu untuk menciptakan demokrasi dalam tatanan masyarakat daerah. Tetapi fakta berbicara lain. Pilkada Maluku Utara menjadi contoh. Betapa para elite selalu memanfaatkan rakyat untuk mati-matian merebut kekuasaan tanpa peduli dampaknya pada masyarakat luas. Pilkada Sulawesi Selatan juga menyisakan kisah tersendiri, Pilkada Kota Makasar baru saja diputus MK atas adanya kecurangan dalam pesta demokrasi tersebut. Terakhir, Pilkada Jatim harus diulang di empat kabupaten karena dianggap ada kecurangan dalam Pilkada tersebut. Tidak itu saja, mundur atau tidaknya calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berstatus incumbent juga menjadi pertentangan yang panjang, sehingga MK memutuskan bahwa calon incumbent tidak harus mundur dalam pilkada.
Dalam seminar sehari yang dilaksanakan oleh Fakultas Politik Pemerintahan IPDN beberapa waktu lalu, salah satu pembicara yaitu Gubernur Sumatera Barat, H.Gamawan Fauzi,S.H.,M.M., melontarkan suatu wacana agar pilkada kembali dilakukan oleh DPRD. Pendapat tersebut sah-sah saja. Dilihat dari konstitusi pun tidak ada yang dilanggar, dimana konstitusi mengamanatkan bahwa kepala daerah dan wakilnya dipilih secara demokratis. Bila sudah muncul wacana seperti itu, berarti ada hal yang harus dikoreksi terkait dengan pilkada langsung tersebut. Walaupun demikian, bukan berarti pilkada langsung tersebut harus diganti dengan pilkada oleh DPRD, kan? Bukan subastansi demokrasi yang harus dikurangi, tetapi sistem dan pendidikan politik rakyat yang harus diperbaiki.
Dalam perjalanannya, UU No.32 Th 2004 ini telah mengalami dua kali perubahan. Pertama diubah dengan UU No.8 Th 2005 dan yang kedua diubah dengan UU No.12 Th 2008. Dua kali perubahan (perbaikan) tersebut menunjukkan sulitnya mencari suatu peraturan perundang-undangan yang mendekati sempurna, karena memang kondisi sosial masyarakat yang sangat dinamis. Itu artinya bahwa dalam menyempurnakan sistem dan pola penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu waktu yang lama dan harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang hidup pada saat itu.***NYOMAN AGUS

SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG DI prajabali.blogspot.com
Blog Ini Hadir Mewarnai Hari-Hari Pembaca Sekalian.
Mari Berbagi Cerita, Informasi, dan Pemikiran Seputar Dunia Pemerintahan dan Politik...
"BERSAMA MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK.."