Rabu, 22 Oktober 2008

KAMPANYE, AJANG KOMUNIKASI POLITIK

Saat ini hal yang menarik dari adanya implementasi Otonomi Daerah adalah dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung di berbagai daerah di Tanah Air. Ini tentu saja membuka peluang bagi Tokoh Politik lokal yang ingin menjadi Pemimpin Lokal sebagai Kepala Daerah baik Bupati maupun Gubernur.
Untuk mencapai posisi tersebut tentu ada tahapan yang harus dilalui oleh para aktor politik lokal tersebut. Mulai dari lobi di tingkat partai politik yang sangat rumit hingga pada tahap ‘menjual’ janji kepada masyarakat (calon pemilih) melalui kampanye.
Kampanye adalah salah satu tahapan pilkada yang harus dilalui oleh seluruh pasangan calon kepala daerah. Melalui kampanye inilah para aktor politik tersebut menjual berbagai program yang akan dilaksanakan ketika menjabat nantinya. Perlu kemampuan khusus untuk mengungkap program itu melalui Komunikasi Politik yang efektif, sehingga benar-benar apa yang disampaikan itu ‘menarik’ minat pemilih.
Dapat dikatakan pula bahwa kampanye pada dasarnya adalah sebagai sosialisasi politik, yang merupakan hakekat kehidupan politik masyarakat dalam tatanan sisitem politik. Secara filosofis sosialisasi politik seperti ini ingin mengembangkan nilai-nilai pribadi melalui komunikasi politik yang menyampaikan pesan-pesan (program) politik. Tentu saja pembentukan nilai-nilai tersebut tetap berada dalam suatu lingkup system politik dan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai lingkungan tempat individu itu hidup.
Melalui kampanye, para elite mencoba mentransformasi nilai-nilai politik yang dimilikinya kepada masyarakat sehingga menjadi suatu pola keyakinan dan kepercayaan masyarakat terhadap tokoh tersebut. Dalam hal ini sosialisasi politik melalui kampanye mengarah kepada pembentukan sikap politik dan kepribadian politik yang secara utuh merupakan factor-faktor kejiwaan dalam masyarakat. Sikap dan prilaku masyarakat diarahkan guna memenuhi tujuan dan kepentingan sang pengarah (elite politik, calon Gubernur, calon Bupati, calon Presiden).
Kampanye sebagai salah satu kegiatan politik merupakan sarana yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain (masyarakat, massa). Melalui kampanye ini, aktor politik mencoba untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat baik pikiran intern golongan, instansi, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik pemerintahan dengan fakta empirik yang ada.
Di Negara-negara maju seperti Amerika, Australia, dan Inggris, pemilu sangat menarik perhatian rakyat karena hal itu menandakan perubahan pemerintahan, kepemimpinan nasional, dan mungkin juga nasib mereka masa datang. Ini jauh berbeda dengan di Indonesia, pemilu ataupun pilkada tidak lebih sebagai ajang ‘jual kecap’ dari tokoh politik melalui kampanye yang menyampaikan jargon-jargon semu. Ini tentu saja berpengaruh terhadap minat pemilih dalam ajang demokrasi tersebut. Ini bisa dilihat dari tingginya tingkat golput baik saat pemilu maupun pilkada. Ini artinya komunikasi politik yang dilakukan oleh tokoh politik tidak sepenuhnya berhasil, karena belum bisa menarik perhatian rakyat secara lebih luas.
Kampanye pada dasarnya adalah uji kepandaian dalam menyampaikan pesan politik. Ketika suatu pesan politik disampaikan dengan sesuatu berbeda, apalagi dalam kemasan yang berbeda pula, maka akan dianggap lebih menarik bagi komunikan. Tetapi ini biasanya lebih sering terjadi pada Negara yang tingkat demokrasinya sudah maju, seperti Amerika, Inggris, dan Australia, yang tidak memandang ketokohan seperti pada Negara Indonesia. Sebagai contoh, Jhon Kennedy mampu mengungguli lawan politiknya, Richard Nixon di tahun 1960-an meski dari segi kemampuan dan pengalaman pemerintahan Kennedy jauh di bawah lawan politiknya itu. Menurut para analis politik Amerika, kemenangan Kennedy ini dikarenakan penampilannya yang masih muda, ceria, memiliki suara yang merdu, dan sangat piawai dalam mengungkap ide-ide politiknya. Media massa digunakannya secara maksimal untuk memanipulasi emosi pemilih melalui pesan politiknya.
Setiap kata yang diungkapkan elit politik dalam kampanye akan sangat mempengaruhi para pemilih, terutama yang berpikiran kritis. Ini bisa dibuktikan dari kekalahan calon presiden AS George Romney, seorang veteran perang yang pulang ke negaranya tahun 1968 dan mengaku bahwa ia telah mengalami “cuci otak ‘. Khalayak tidak lagi mempertimbangkannya sebagai calon presiden karena bagaimana mungkin memilih presiden yang pernah mengalami cuci otak. Oleh karena itu, lidah sangat memegang peranan penting dalam kampanye. Sedikit saja salah ucap maka akan berakibat fatal bagi calon itu sendiri.
Tentu saja, dalam berkampanye seorang kandidat tidak saja harus tahu apa yang akan dikatakan, tetapi lebih dari itu ia harus mahir bagaimana mengatakan isu tersebut. Sesuatu yang dianggap biasa akan menjadi luar biasa apabila disampaikan dengan cara yang berbeda pula. Di sinilah dituntut kemahiran dari elit parpol dalam mengelola pesan-pesan politiknya, sehingga mampu mempengaruhi rakyatnya.
Kampanye yang baik tidak saja dilakukan hanya dengan mengobral janji-janji politik ataupun komunikasi verbal lainnya, tetapi lebih dari itu seorang calon harus dapat menyampaikan pesan politik melalui “pengelolaan kesan”. Kesan ini dapat muncul dari cara berpakaian, ekspresi wajah, dan sebagainya. Penciptaan kesan seperti ini penting untuk mempengaruhi masyarakat dan bahkan memiliki peran besar dalam keberhasilan berkampanye. Ambil contoh pada jaman orde baru, para elit militer dan elit pilitik secara mendadak menjadi seorang Kiai dengan memakai peci dan sorban ketika berkampanye ke pesantren-pesantren atau ke suatu kelompok masyarakat yang agamis. Begitu juga Pak Harto yang dikenal memiliki “senyum misteri” selalu menampakkan senyum khasnya ketika berhadapan dengan masyarakat kecil. Ini akan membawa kesan tersendiri bagi para komunikan politik.
Hingga derajat tertentu, keahlian tokoh partai dalam mengelola kesan, khususnya yang menjadi calon pemimpin (Gubernur, Bupati), sebenarnya dapat membantu kemenangan partainya, asal saja ia mempunyai Publik Relatiaon yang tangguh yang membantu sang kandidat bagaimana tampil prima di hadapan khalayak. Pengelolaan kesan melalui media massa, baik melalui pemberitaan, acara khusus, atau bahkan iklan sangatlah penting, karena media massa dapat melipat gandakan pengaruh impression management ini.
Dalam berbagai kampanye Pilkada di tanah air beberapa waktu terakhir ini, partai politik telah menampilkan kekuatannya melalui unjuk kekuatan partai dalam bentuk arak-arakan di jalanan. Namun demikian, para kandidat yang seharusnya menjadi key actor dalam Pilkada terkadang kurang terampil mengelola citra diri. Kebanyakan dari mereka masih tampil bersahaja, hati-hati, lugu, dan terkadang naïf. Mungkin karena pencitraan diri mereka anggap kurang penting.
Bahasa komunikasi yang digunakan hendaknya selalu dalam batas nilai-nilai etis yang berlaku. Bahasa provokasi dalam berkampanye justru akan menjadi boomerang bagi calon itu sendiri. Cara-cara kurang etis seperti itu sangatlah tidak layak dilakukan oleh seorang calon pemimpin. Idealnya, komunikasi politik yang dilakukan oleh para elite harus bisa menjaga ketentraman dan ketertiban social masyarakat, karena pada hakekatnya setiap proses politik adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Sumarno(2006:5) bahwa kehadiran komunikasi politik adalah untuk mewujudkan kondisi harmonis, berlanjutnya system politik secara berkesinambungan yang dapat mengayomi seluruh individu yang berada dalam system tersebut.
Berkomunikasi termasuk komunikasi politik adalah hak azasi manusia, namun demikian hak-hak tersebut hak tersebut tidak dapat digunakan secara mutlak selama komukasi politik yang dilakukan dapat menimbulkan kerugian individu yang lain. Oleh karena itu setiap komunikasi politik yang dilakukan oleh setiap actor politik baik dalam berkampanye atau dalam kegiatan politik apapun harus memiliki nilai-nilai moral secara politis dan sosiologis yang selalu berdampingan sehingga menimbulkan kemanfaatan bersama.
Demikianlah, kampanye sebagai ajang komunikasi politik harus dapat dimanfaatkan tidak saja untuk membentuk citra diri yang baik dari para elite, tetapi hendaknya dapat menumbuhkan kesadaran politik masyarakat sehingga dapat berpartisipasi dalam sisitem politik yang ada. Dengan demikian, secara tidak langsung rakyat ikut serta dalam membangun bangsanya.
BHINNEKA NARA EKA BHAKTI

Tidak ada komentar: